Tony Wheeler, pendiri Lonely Planet yang legendaris, baru-baru ini mengungkapkan daftar destinasi yang tak ingin ia kunjungi lagi dalam waktu dekat. Salah satunya Bali.
Wheeler mengungkapkan pendapatnya itu dalam tulisan blog berjudul “I’m Not Going There Anymore”. Pria 78 tahun dengan paspor Australia dan Inggris itu tak asal pilih. Dia menyebut alasan pribadi dan prinsip yang mendasari keputusannya.
“Saya tidak akan kembali ke Rusia selama negara itu bersekutu dengan Korea Utara dan Amerika Serikat untuk menyerang Ukraina, dan selama Putin masih membunuh orang-orang tak bersalah,” kata Wheeler, dikutip dari The Independent Rabu (14/5/2025).
Baginya, tragedi Malaysia Airlines MH17 yang jatuh pada 2014 menjadi luka yang dalam.
“Ada 27 warga Australia di antara 298 penumpang tak bersalah yang tewas akibat ulah Putin,” ujarnya.
Negara berikutnya dalam daftar hitam Wheeler adalah Arab Saudi. Meskipun negeri itu sedang gencar membangun industri pariwisata dan berinvestasi miliaran dolar, dia mengaku tak bisa memisahkan pariwisata dari catatan hak asasi manusia.
“Mulai dari pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi hingga laporan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga Afrika Timur. Saya tak bisa membiarkannya begitu saja,” kata dia.
Wheeler juga pernah ke Somaliland dan menyaksikan langsung upaya penyelamatan cheetah dari perdagangan ilegal ke Arab Saudi untuk dijadikan peliharaan.
“Cheetah itu dibunuh setelah tumbuh besar. Siapa yang pikir cheetah cocok jadi hewan peliharaan? Arab Saudi? Tidak, terima kasih,” kata dia.
Amerika Serikat (AS) juga tak luput dari kritik. Meski pernah tinggal hampir satu dekade di berbagai wilayah AS dan punya banyak teman di sana, kondisi politik saat ini membuatnya enggan kembali.
“Dengan Trump dan kroni-kroninya yang kembali berkuasa, AS sekarang ada di urutan paling bawah dalam daftar perjalanan saya,” kata dia.
Yang cukup mengejutkan, Bali juga masuk daftar tempat yang enggan ia kunjungi. Meski menyebut banyak hal hebat tentang Pulau Dewata dan bahkan baru menghadiri reuni penulis perjalanan di sana, Wheeler merasa Bali sudah terlalu padat.
“Sampai mereka bisa membereskan kemacetan yang tidak masuk akal itu, saya tidak ingin kembali. Kecuali ada alasan yang sangat kuat untuk menyeret saya ke sana,” kata dia.