Indonesia menyambut 10 juta turis selama 8 bulan pertama di 2025, sedangkan di Malaysia ada 28,2 juta wisatawan yang berkunjung. Ketertarikan turis lebih besar untuk berkunjung ke Malaysia daripada Indonesia, bukan karena negara ini kalah indah.
Menurut Wakil Direktur Bidang Sumber Daya, Ventura, dan Administrasi Umum Universitas Indonesia Deni Danial Kesa, MBA, PhD, Malaysia menempatkan pariwisata sebagai isu nasional. Sedangkan pariwisata Indonesia masih dilakukan tidak daerah tanpa ada integrasi.
“Itu bukan sekadar angka, tapi perbedaan dalam memasarkan pariwisata. Malaysia menjadikan pariwisata sebagai proyek nasional, sedangkan Indonesia memperlakukannya sebagai kumpulan inisiatif daerah yang berjalan sendiri,” kata Deni dalam perbincangan dengan detikTravel.
Akibatnya, koordinasi dan konsistensi pemasaran pariwisata Indonesia tidak berjalan seiringan. Tiap daerah membuat program pariwisata sendiri, mengabaikan pentingnya menciptakan ‘experience Indonesia.’ Selain itu, tidak ada kelanjutan, sehingga pesona Indonesia mudah hilang.
Selain marketing, kelemahan lain adalah masalah administrasi dan dukungan transportasi. Menurut Deni, sulitnya mengakses hal-hal pendukung wisata ini tidak cocok bagi kebutuhan wisatawan modern. Akibatnya, wisatawan lebih suka ke Malaysia yang punya layanan lebih terintegrasi.
Malaysia juga lebih cepat membaca perubahan perilaku wisatawan sehingga mengedepankan kemudahan, harga kompetitif, dan kenyamanan logistik. Melengkapi semuanya, Indonesia tidak punya mekanisme dukungan sistematis dan serba digital. Akibatnya pelaku industri wisata sulit terkoneksi dengan pasar global.
“Tanpa pelatihan sistem digital misal kemitraan dengan platform daring dan akses pendanaan, maka kreativitas mereka berhenti di tingkat lokal. Padahal wisatawan saat ini datang mencari pengalaman otentik seperti itu,” kata Deni.
Meski begitu, kondisi ini bukannya tidak bisa diperbaiki untuk menginfokan pesona Indonesia pada dunia. Indonesia harus bisa mengemas pesona Indonesia dengan strategi storytelling yang konsisten dan terintegrasi. Cerita ini membantu Indonesia naik kelas menjadi creative experience hub’ yang memberikan pengalaman baik pada turis untuk diceritakan, bukan sekadar exotic destination di Asia Tenggara.
Strategi ini didukung sinkronisasi lintas kementerian dan daerah, investasi jangka panjang di infrastruktur serta talenta kreatif, dan pemanfaatan teknologi untuk personalisasi pengalaman wisata. Ketiganya membantu pengelolaan pariwisata Indonesia lebih terarah, berkelanjutan, dan mampu menarik minat wisatawan global.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Hariyadi Sukamdani, menilai pemerintah belum menempatkan pariwisata sebagai prioritas utama pembangunan. Sejak lama, kata dia, sektor ini hanya dianggap sebagai pelengkap, bukan pilar ekonomi nasional.
“Sejak republik ini berdiri, pariwisata tidak pernah menjadi program utama. Dari dulu sampai sekarang, posisinya hanya sebagai program tambahan,” ujarnya.
Hariyadi menjelaskan, dalam Undang-Undang Kementerian Negara, pariwisata tidak termasuk dalam bidang yang dianggap strategis, sehingga kewenangan dan alokasi anggarannya pun terbatas. Kondisi inilah yang membuat Indonesia sulit menyaingi negara tetangga yang menjadikan pariwisata sebagai proyek nasional.
Melalui rilis kepada media, Kemenpar menyebut bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia sepanjang Januari-Agustus 2025 mencapai 10,04 juta orang. Angka itu masih kalah dari Malaysia dan Thailand, namun menjadi rekor tertinggi sejak pandemi.
“Capaian ini menandai rekor tertinggi periode Januari-Agustus kunjungan wisatawan mancanegara sejak pandemi COVID-19 dan menunjukkan arah pemulihan pariwisata Indonesia berada di jalur yang benar,” kata Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana.