Bali dan Jakarta sejatinya tak pernah kehilangan pesonanya yang menarik perhatian para turis. Bali dengan pesona budaya dan alamnya, serta Jakarta yang punya keanekaragaman masyarakat plus paduan banyak kultur.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk, banyaknya pendatang, dan eksplorasi berbagai sumber ekonomi maka daya tarik asli Bali dan Jakarta tertutup. Keduanya tak terasa otentik karena harus berdamai dengan kepentingan pendatang, investor, dan pemenuhan kebutuhan ekonomi warga.

Kota yang Dinilai Overrated
Dikutip dari Yahoo Finance, beberapa kota berikut dinilai berlebihan karena tidak sesuai kenyataan. Sebagai catatan, beberapa kota dalam tulisan ini sebetulnya desa namun sangat ramai hingga mirip sebuah kota.
1. Canggu di Bali
Wilayah Canggu adalah desa di Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Desa di pesisir ini menawarkan pesona pantai dengan ombak yang tenang, sawah hijau, dan keramahan penduduk sehingga cocok untuk healing serta relaksasi.
Sayang seiring waktu, Canggu berubah jadi makin mirip Kuta akibat banyaknya klub malam, beach club, dan sarana hiburan lain. Media sempat ramai menberitakan macet di Canggu seiring banyaknya turis yang datang. Kondisi ini diperparah turis asing yang mabuk dan tidur sembarangan di jalanan Canggu usai berpesta pada malam hari. Bagi sebagian orang, Canggu dan alamnya kini tak lagi indah.
2. Seminyak di Bali
Desa di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung ini memang disetting sebagai destinasi wisata high-end dengan layanan super baik. Pantai di Seminyak menyediakan berbagai fasilitas serta sarana berkualitas serta desain modern.
Berbagai kelebihan Seminyak menjadikan wilayah ini ramai dikunjungi wisatawan dari dalam dan luar negeri. Seiring waktu, harga akomodasi makin mahal hingga terasa tidak masuk akal. Pengunjung akhirnya mencari tempat nginep, makan, dan sewa transportasi yang lebih murah namun tetap berkualitas di luar Seminyak.
3. Ubud di Bali
Kota Ubud yang berlokasi tepat di tengah Bali menawarkan berbagai budaya otentik Pulau Dewata ini. Ubud adalah wilayah dengan banyak pura, situs suci, dan pusat pengembangan seni. Ubud juga punya sawah, hutan, dan masyarakat yang ramah.
Seiring waktu, Ubud mengalami komersialisasi hampir di semua sudutnya. Layanan yang tadinya tersedia atas dasar ketulusan kebaikan masyarakat, berubah semata karena uang. Wisatawan tidak bisa menikmati seni dan hospitality, kecuali jika bersedia membayar sesuai tarif yang ditetapkan pengelola.
4. Tegalalang di Bali
Desa di Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar ini dikenal dengan sistem persawahan berundak. Di Bali, sistem terasering yang disebut subak ini memungkinkan pengaturan air di tiap petak sawah. Sehingga sawah bisa dipanen tepat waktu karena tidak kekurangan air.
Pemandangan khas Tegalalang ini menarik perhatian turis, apalagi sejak foto dengan ayunan raksasa berlatar area persawahan viral di medsos. Tegalalang menjadi makin ramai dengan beragam akomodasi tersebar di wilayah ini. Akibatnya, menikmati vibe alami Tegalalang makin sulit karena pengunjung semakin ramai.
5. Jakarta
Sebagai salah satu kota terpadat di Indonesia dan dunia, Jakarta menawarkan perpaduan budaya masyarakatnya. Jejak budaya ini masih bisa dinikmati hingga sekarang, misal kawasan Pecinan dan Kota Tua di Jakarta Barat. Jakarta juga punya aneka museum yang menyimpan sejarah Indonesia.
Sayang, budaya asli Jakarta yang dihuni masyarakat Betawi ini nyaris tidak terlihat. Turis bisa berkunjung ke Kawasan Situ Babakan jika ingin menikmati budaya Betawi asli. Identitas Betawi tersingkir seiring dengan akulturasi budaya masyarakatnya. Hal ini diperparah dengan macet, polusi, dan masalah sampah yang tak kunjung usai.
Overrated bukan berarti kota tersebut tak layak dikunjungi, atau hanya untuk kepentingan ekonomi. Pengunjung bisa menyusun itinerary lebih dulu, untuk menekan risiko pengeluaran tiba-tiba sehingga liburan terasa lebih menyenangkan.