Airbnb dan Booking.com Dinilai Berkontribusi pada Pariwisata di Atas Luka Palestina

Posted on

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini memasukkan Airbnb dan Booking.com ke dalam daftar perusahaan yang mendapat keuntungan dari genosida di Gaza. Kedua raksasa industri pariwisata itu dinilai turut menawarkan wisata idaman di atas tanah yang sebenarnya dirampas dari warga Palestina.

Kolam renang pribadi, teras asri lengkap dengan perapian, meja makan panjang dengan pemandangan balkon yang luas, hingga piano. Daya tarik utamanya adalah pengalaman menyaksikan matahari terbit dari kamar utama yang lapang dan mewah. Vila itu memiliki view pegunungan Yudea.

Kalimat itu tercantum dalam promosi iklan sebuah vila di Airbnb. Promosi serupa, dengan menonjolkan keindahan dan kenyamanan, digunakan oleh banyak penginapan lain dan dengan percaya diri menyebut properti itu berada di Israel.

Dalam laporan berjudul Dirampas, Diduduki, Disewakan: Bagaimana Airbnb dan Booking.com Menghasilkan Uang dari Tanah Palestina yang Dicuri dan dipublikasikan pada 27 Februari 2025, The Guardian menemukan fakta yang tidak disampaikan dalam deskripsi itu. Ya, bahwa sebenarnya di balik promosi yang indah itu, vila tersebut berdiri di permukiman ilegal di atas tanah yang dirampas dari warga Palestina.

Permukiman seperti itu dianggap melanggar hukum kemanusiaan internasional. pelanggaran itu semakin nyata dengan hanya segelintir warga Palestina yang diperbolehkan memasuki kawasan tersebut, biasanya hanya sebagai buruh dengan izin khusus. Vila ini bukan satu-satunya.

Analisis eksklusif The Guardian menemukan 760 kamar di hotel, apartemen, dan properti sewa liburan lainnya di permukiman ilegal Israel di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Seluruh properti itu bisa menampung lebih dari 2.000 orang per Agustus 2024.

“Deskripsi penginapan yang dipromosikan di Airbnb dan Booking.com tidak pernah mencantumkan fakta bahwa permukiman tersebut dibangun di atas tanah hasil kekerasan dan pengusiran. Bahkan, ketika di sekitar Tekoa, salah satu kawasan dengan listing terbanyak, kekerasan meningkat tajam sejak pecahnya perang di Gaza dan lebih dari 100 warga Palestina telah diusir sejak 2023,” dalam laporan The Guardian.

Deskripsi properti itu membuat wisatawan tidak sadar bahwa mereka sedang berlibur di atas tanah yang diambil paksa.

Amnesty International mencatat bahwa Israel sengaja membangun permukiman dekat situs bersejarah dan religius untuk memperkuat klaim atas tanah tersebut. Bahkan, pembangunan taman nasional dan cagar alam dijadikan alasan untuk membatasi gerak warga Palestina.

Warga Palestina jelas bukan penerima manfaat dari industri itu. Meskipun hampir 40% situs wisata di Israel terletak di wilayah pendudukan, hanya 0,3% pemandu wisatanya adalah warga Palestina. Pariwisata Palestina terpuruk akibat pembatasan dan kekerasan.

Sementara itu, perusahaan seperti Airbnb dan Booking.com terus meraup keuntungan. Airbnb misalnya, mencatat peningkatan listing dari 139 pada 2016 menjadi 350 pada 2025, dengan komisi hingga 23%. Uang itu mengalir ke ekonomi permukiman yang memperkuat sistem apartheid.

Juru bicara Booking.com menyampaikan keprihatinan atas situasi di kawasan tersebut. Mereka bersikukuh hanya ingin memudahkan traveler mendapatkan penginapan saat bepergian.

“Perang di Gaza serta meningkatnya kekerasan di Tepi Barat, Lebanon, dan Israel sangat memilukan. Misi kami adalah memudahkan semua orang untuk menjelajahi dunia. Kami yakin keputusan ke mana seseorang ingin bepergian sepenuhnya ada di tangan traveler. Bukan wewenang kami untuk memutuskan siapa yang boleh atau tidak boleh bepergian ke suatu tempat,” kata jubir itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *