Endang Sumitra mungkin bukan nama yang akrab di panggung politik nasional, tetapi pria asal Bogor itu mempunyai rekam jejak luar biasa, yakni melayani enam presiden Indonesia. Selama 36 tahun, ia menjadi saksi bisu dinamika kekuasaan, dari era Soeharto hingga Joko Widodo.
detiktravel berjumpa dengan Endang saat napak tilas untuk menandai ulang tahun Bogor ke-543 pada Sabtu (7/6/2025). Agenda itu tergolong istimewa.
Acara yang diikuti lebih dari 30 peserta tersebut menyuguhkan kisah dan akar sejarah Bogor, sejak masa Kerajaan Salakanagara, pusat budaya Pajajaran, hingga dikenal dunia sebagai Buitenzorg.
Riwayat nan panjang itu disampaikan dalam narasi hangat oleh pendiri Komunitas Japas (Jalan Pagi Sejarah) Jhonny Pinot dan Abdullah Abubakar Batarfie. Namun, yang paling menarik dan membuat peserta antusias adalah tuturan Endang. Dia pernah mengabdi di lingkungan Istana Bogor sejak 1982 hingga 2018.
Lelaki kelahiran April 1960 itu cukup fasih memaparkan riwayat Istana dan jejak-jejak peradaban yang membentuk wajah Bogor. Juga kisah-kisah humanis saat dia berinteraksi langsung dengan para presiden, mulai Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo.
“Begitu lulus SMA di Bogor pada 1982 saya bekerja di Istana mengikuti jejak Bapak, Kakek, dan Buyut,” kata Endang yang jabatan terakhirnya Kepala Sub Bagian Rumah Tangga dan Protokol Istana Bogor saat berbincang dengan detiktravel di sela-sela acara napak tilas.
Buyutnya, ia melanjutkan, pernah menjadi Mandor Taman Kebun Raya dan Istana di era Gubernur Jenderal Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer yang berkuasa di Bogor pada 1936 – 1942. “Kalau Bapak saya pernah jadi sopir pribadi Ibu Fatmawati,” kata Endang.
Hal itu berlangsung sejak Fatmawati keluar dari Istana sebagai bentuk protes atas keputusan Presiden Sukarno yang menikahi Hartini pada Juli 1953. Fatmawati tinggal di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan.
Meski cuma berijazah SMA, Endang mengaku rutin mengikuti pelatihan, pembekalan dan penyegaran terkait keprotokoleran tingkat nasional yang digelar oleh Rumah Tangga Istana dan Departemen Luar Negeri. Pesertanya, selain para pegawai Istana Negara dan Merdeka di Jakarta, juga pegawai Istana Bogor, Cipanas, Yogyakarta, dan Bali. Dari lingkungan pemerintahan ada perwakilan dari segenap departemen dan lembaga negara, serta pemerintah provinsi.
“Saya ikut terus sejak Kepala Rumah Tangga Istana dijabat Brigjen Sampurno, Pak Joop Ave, dan Pak Maftuh Basyuni,” ujarnya.
Pada 1992/93, atas perintah Ii Atikah Sumantri (Kepala Istana Bogor), Endang melanjutkan kuliah ke Fakultas Hukum Universitas Pakuan. Ia mengambil jurusan Hukum Tata Negara dengan pengajar antara lain Prof Paulus Effendi Lotulung.
“Karena kuliah sambil kerja, saya baru wisuda pada 1998 setelah Pak Harto lengser,” ujarnya.
Terkait interaksinya dengan Presiden Soeharto, Endang mengklaim dirinya sebagai orang yang kerap diminta ajudan dan anggota paspampres agar tak jauh-jauh dari lingkaran penguasa Orde Baru itu setiap ke Istana atau ke peternakan di Tapos. Kenapa?
“Karena saya yang bertugas menjinjing wireless TOA. Kalau berjarak lima meter saja suara Pak Harto pasti tak terdengar oleh hadirin,” kata Endang disambut tawa.
Kalau dengan Gus Dur, ia melanjutkan, dirinya yang mengatur prosesi pemotongan dan pengolahan daging rusa menjadi sate. Kalau pelayan menyiapkan lima tusuk sate rusa untuk Gus Dur, Endang dipastikan akan menguranginya atas perintah Ibu Sinta Nuriyah menjadi dua tusuk saja. Hal itu dilakukan untuk menjaga kesehatan Gus Dur.
Dari enam presiden yang pernah dilayaninya, Endang mengaku paling intens berinteraksi dengan Jokowi. Sebab Presiden ketujuh RI itu sejak 2015 sehari-harinya tinggal di pavilion Dyah Bayurini di kompleks Istana Bogor. Jokowi yang menugaskannya menanam aneka bunga warna-warni dan pohon merambat agar lingkungan Istana terkesan menyatu dengan Kebun Raya.
“Sejak era Pak Harto, entah kenapa kami dilarang menanam perdu atau tanaman merambat. Juga dilarang menanam pohon yang berduri, seperti bunga mawar. Sekalipun harum dan warnanya indah, karena berduri kami tak menanamnya,” ungkap Endang.
Ia juga yang diminta mendatangkan para pedagang angkringan ke halaman Istana setiap kali Presiden Jokowi menggelar sidang kabinet.
“Bapak bilang lebih murah dan lebih enak ketimbang menu katering,” ujar Endang.