Setelah kematian Juliana Marins, ramai desakan di media sosial tentang larangan mendaki Gunung Rinjani buat pemula. Tepatkah?
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Yarman merespons wacana larangan pendaki pemula naik Rinjani itu. Dia bilang perlu kajian terlebih dahulu terkait prosedur operasional standar (SOP) pendakian.
“Nanti kami lihat bagaimana SOP-nya dan perlu didiskusikan juga. Intinya saya sambut baik karena Rinjani ini bukan untuk wisata saja,” kata Yarman di Mataram, Kamis (3/7/2025) dilansir detikbali.
Yarman mengatakan para pendaki perlu menyiapkan mental, fisik, dan mengenal medan sebelum mendaki gunung tertinggi di Nusa Tenggara Barat (NTB) itu. Selain itu, pendaki juga harus mengerti tentang upaya pertolongan pertama jika mengalami kecelakaan.
Yarman mengatakan Balai TNGR berencana memberikan radio frekuensi identifikasi berupa gelang untuk para pendaki. Upaya itu untuk memudahkan identifikasi pendaki selama berada di Gunung Rinjani.
Yarman bilang saat ini TNGR sedang menggodok salah satu cara mengetahui pendaki pemula atau tidak yakni dengan menunjukkan riwayat pendakian gunung lain yang pernah dilakukan sebelumnya.
Yarman menjelaskan selain mendiskusikan langkah-langkah itu, saat ini Balai TNGR telah membangun dua shelter peralatan evakuasi di Pelawangan Sembalun dan Danau Segara Anak Rinjani. Masing-masing shelter dilengkapi peralatan evakuasi seperti tali sepanjang 300 meter hingga aluminium foil untuk pertolongan pertama terhadap pendaki yang mengalami hipotermia atau kedinginan.
“Itu sudah kami siapkan, tapi sifatnya hanya pertolongan pertama. Artinya, kemampuan tim kami juga melihat medan ketika ada korban jatuh. Tidak semudah apa yang kita lihat,” ujar dia.
Wanadri: Mendaki Gunung Rinjani bukan soal Pemula atau Bukan
Sementara itu, Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri, sebuah organisasi kegiatan alam bebas yang berpusat di Bandung, Jawa Barat, berpendapat lain. Mendaki Gunung Rinjani bukan soal berpengalaman atau tidak dalam mendaki gunung.
Alisar, ketua Komisi Operasional Dewan Normatif Wanadri dan ketua Monev Recruitment Wanadri, dalam perbincangan dengan detiktravel, beberapa waktu lalu, menekankan soal persiapan pendaki, tidak hanya mendaki Gunung Rinjani tetapi gunung-gunung lain yang dituju.
“Sepengetahuan kami semua taman nasional sudah punya SOP dan dikelola dengan baik. Hanya saja, permasalahannya di Indonesia ini kan jalur-jalur tikus itu kan banyak, kemudian pendaki sendiri kadang-kadang ingin mencoba-coba. Jadi evaluasinya adalah pertama adalah terkait dengan kasus Rinjani ya atau yang lainnya, pertama adalah kesiapan pendaki tersebut,” kata Alisar.
“Kedua ikuti dan patuhi aturan yang berlaku di mana pun mereka akan mendaki gunung. Ketiga adalah amati kondisi medan, pelajari cuaca, ketinggian, apa kendala-kendala apa atau searching lah sebanyak-banyaknya pengetahuan terkait gimana gunung yang akan didaki,” dia menambahkan.
“Masalah bisa didaki atau enggak (Gunung Rinjani) itu tergantung dari beberapa faktor. Kalau misalkan pemula pun secara fisik, pengetahuan dan perlengkapannya dia siap, tidak ada masalah. Toh juga si fasilitator di sana kan sudah menyiapkan SOP dengan harus meng-hire pemandu atau porter,” kata dia lagi.
Alisar tidak memungkiri ada perbedaan yang dimiliki oleh pendaki kawasan dan pemula saat mendaki gunung. Perbedaan itu ada pada pengetahuan soal medan gunung.
“Beda antara pemula dengan pendaki yang berpengalaman adalah sisi perencanaan. Contoh begini, pemula itu kadang-kadang biasa tidak berpikir, tidak terbayang kondisinya akan bagaimana, berapa lama, perjalanan 10-12 jam itu seberapa lama, bagaimana cuaca dan juga ketinggian. Jadi hal-hal tersebut yang belum terbayangkan oleh pemula. Nah, ini bisa diantisipasi oleh persiapan fisik yang cukup mumpuni,” kata dia.
“Jadi jangan sampai ada pendaki pemula, tidak siap apa-apa, walaupun bawa porter banyak, itu tetap berisiko berat ke Rinjani,” kata dia.
Dia juga mengingatkan pendaki untuk tidak hanya mengetahui keindahannya, namun juga risiko, berupa bahaya subjektif dan bahaya objektif.
“Bahaya subjektif adalah bahaya yang berasal daripada ke pelaku atau penggiat itu sendiri. Contoh, kesiapan fisik, pengetahuan, perlengkapan, segala macam. Yang kedua adalah faktor bahaya objektif. Bahaya objektif itu berasal dari faktor eksternal atau alam yang akan kita kunjungi, seperti cuaca, medan yang sulit, binatang buas, dan lainnya,” kata dia.
“Kita mendaki gunung, puncak bukan tujuan. Yang jadi tujuan kita adalah kembali ke rumah dengan selamat,” dia menegaskan.