Makkah, pukul 08.00 pagi waktu setempat. Setelah salat Subuh dan sarapan, kami menaiki bus untuk menempuh perjalanan menuju Ta’if.
Faul bersama ustadz Syam Huda dan rombongan NRA 37 memulai perjalanan ke Ta’if. Ta’if merupakan sebuah kota di dataran tinggi yang sering disebut-sebut sebagai ‘oase dingin’ di Arab Saudi.
Rute lapang dan berkelok membawa kami naik menuju pegunungan Hijaz. Meski sedang musim panas dan dataran rendah terasa terik, udara di Ta’if berbeda: lebih dingin dan segar karena elevasinya yang mencapai sekitar 1.879 meter di atas permukaan laut.
Perjalanan darat dari Makkah ke Ta’if memakan waktu sekitar 2 jam (bisa 1,5-2,5 jam tergantung rute dan lalu lintas). Dalam bus, suasana tetap khidmat dan hangat.
Rombongan kami bersahut-sahutan takbir dan wirid sepanjang perjalanan dengan kombinasi liburan dan istirahat jiwa di sela-sela rangkaian ibadah.
Pemandangan sepanjang jalan tampak kontras, hamparan tanah tandus, jalur berliku, kawanan unta yang tenang, serta permukiman sederhana di jazirah Arab.
Sesampainya di Ta’if, sambutan pertama adalah sinar matahari cerah dan hembusan angin dingin. Kami langsung menuju atraksi utama pegunungan yaitu kereta gantung (Al Hada / Ta’if cable car).
Ustadz menjelaskan bahwa sekali jalan biasanya memakan waktu 20-25 menit dan pulang-pergi berarti sekitar 40-50 menit total dan pengalaman ini memang tambang foto dan adrenalin.
Dari kabin berkaca besar, bukit-bukit batu menganga, jalan berliku terlihat seperti benang, dan jurang-jurang cadas memperlihatkan betapa dramatisnya lanskap pegunungan ini.
Ada detik-detik tegang ketika kabin melewati tiang penyangga dan terasa bunyi sambungan, namun pemandangan membuat semua degup jantung itu berubah menjadi decak kagum.
Di stasiun bawah, kami lalu melihat sebuah area waterpark yang tampak sepi, hal ini mungkin karena kebiasaan warga setempat yang lebih aktif pada malam hari, akan tetapi pemandangan dari atas sudah lebih dari cukup: angin dingin, batu, dan ruang kosong yang menumbuhkan rasa kecilnya manusia di hadapan alam.
Dalam perjalanan naik saya bersama teman satu grup dalam kereta gantung dalam suasana suka bernyanyi “naik-naik ke puncak gunung” untuk mencairkan suasana yang masih dipacu dengan adrenalin.
Setelah naik turun kereta gantung dan berfoto, saya memilih menyusuri pasar lokal di Ta’if. Di Ta’if, belanja tak sekadar transaksi; ini adalah pertemuan lintas budaya.
Saya menemukan penjual parfum yang akrab, pedagang kecil yang mengundang tawar-menawar. Di sebuah warung saya bahkan bertemu pegawai Indonesia yang berasal dari wilayah Sunda yang sedang menyajikan mie ayam; percakapan beralih ke bahasa Sunda, dan sejenak rasa rindu kampung tercurah dalam semangkuk mie yang hangat.
Di lapak lain, seorang pedagang parfum adalah orang India; istrinya berasal dari Ciamis sehingga tawar-menawar pun berubah jadi obrolan bercanda dalam bahasa Sunda sebelum saya memutuskan membeli beberapa botol minyak wangi Ta’if.
Momen ini menunjukkan betapa pasar Ta’if menjadi persimpangan budaya: Arab, Asia Selatan, dan diaspora Indonesia bertemu dalam satu teritori perdagangan kecil.
Ta’if terkenal karena mawar Damask-nya yaitu mawar Ta’if yang diproses menjadi minyak dan air mawar yang harum. Banyak pabrik kecil di kawasan pegunungan masih menggunakan metode tradisional untuk menyuling kelopak mawar menjadi attar (minyak mawar) dan rose water.
Aroma mawar yang pekat mudah ditemui di pasar-pasar sebagai oleh-oleh. Usai berkeliling dan berbelanja, rombongan berkumpul menikmati makan siang: nasi kebuli asli ala Arab Saudi.
Nasi berbumbu wangi, daging empuk, dan rasa rempah yang hangat terasa tepat setelah pagi yang panjang. Di meja makan, cerita-cerita perjalanan, candaan dalam bahasa daerah, dan gelak tawa mengisi suasana makan siang bersama menjadi ritual pengikat di antara kami, menutup sesi siang dengan rasa kenyang dan puas.
Siang hari yang tidak terlalu jauh menuju sore, kami berkunjung ke salah satu pabrik/pabrik kecil destilasi mawar. Prosesnya bagian kelopak segar dikumpulkan di pagi hari, lalu segera disuling agar minyak aromatiknya tetap maksimal.
Dalam pabrik kecil itu terlihat alat-alat tembaga, tenaga manusia yang telaten, dan satu aroma yang membuat kepala terasa tenang yang khas mawar Ta’if memang memiliki reputasi historis sebagai produk rempah dan parfum yang bernilai tinggi.
Pengolahan tradisional ini membuktikan bahwa Ta’if bukan sekadar destinasi pemandangan, tetapi juga pusat industri kecil yang mempertahankan warisan kultur agrarisnya.
Sebelum kembali ke Makkah, rombongan singgah sebentar di beberapa titik objek wisata lain seperti toko madu lokal, melihat lanskap al-Shafa dan al-Hada dari titik pandang, serta bergabung singkat di pasar malam yang mulai menyiapkan dagangan.
Kami memastikan perjalanan pulang tidak sampai malam hari dengan agenda yang sudah disusun agar seluruh aktivitas tuntas sebelum senja, sehingga rombongan kembali ke Makkah dengan cukup waktu istirahat untuk rangkaian ibadah berikutnya.
Ta’if kaya sejarah. Selain sebagai pusat kebun dan musim panas kaum elit karena suhunya yang lebih sejuk, kota ini juga tercatat dalam sejarah Islam, misalnya peristiwa di sekitar lembah Hunayn dan pengepungan Ta’if pada tahun 630 Masehi setelah kemenangan di Hunayn.
Di masa modern, Ta’if juga tercatat sebagai kota yang pernah menjadi lokasi perundingan penting, termasuk perjanjian geopolitik pada abad ke-20.
Semua lapisan sejarah ini menambah dimensi ketika kita melintasi jalanan dan kebun mawar: bukan sekadar wisata, melainkan tapak sejarah berlapis.