Traveler yang selesai menunaikan ibadah Haji biasanya mencantumkan gelar Haji (H.) atau Hajjah (Hj.) di depan namanya. Dari mana, kebiasaan itu berasal?
Ternyata, pencantuman gelar Haji (H.) atau Hajjah (Hj.) di depan nama itu sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Zaman dahulu, naik haji tidak seperti zaman sekarang.
Dua abad silam, pergi menunaikan ibadah haji bukan hanya sebatas dilihat dari sudut pandang ibadah atau spiritual saja. Namun juga dari sudut pandang politik.
Para jamaah haji asal Indonesia kerap ‘berulah’ usai pulang dari Makkah. Dalam pandangan Belanda, para jamaah Haji kerap belajar hal-hal baru ketika di Tanah Suci.
Jadi, ketika pulang kampung ke Indonesia, mereka menyebarkan ajaran baru yang dapat memantik perjuangan rakyat di akar rumput untuk melakukan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda.
Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda (1986) menyebut, pikiran seperti ini pertama muncul di era Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, pada 1810-an.
Kala itu, pencetus Jalan Raya Anyer-Panarukan itu berpikir kalau penduduk pribumi yang pulang Haji kerap menghasut rakyat untuk berontak ketika berpergian. Alhasil, Daendels meminta para jamaah itu untuk mengurus paspor haji sebagai penanda.
Pemikiran seperti ini juga dimunculkan saat Indonesia dijajah Inggris lewat Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles. Dalam catatannya berjudul History of Java (1817), Raffles bahkan terang-terangan “menyerang” orang pergi haji.
Katanya, orang Jawa yang pergi haji itu sok suci. Karena dengan kesuciannya itu mereka bisa menghasut rakyat dan menjadi ujung tombak perlawanan di kalangan kelompok masyarakat.
Meski begitu, tulis Dien Madjid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008), kebijakan politis haji baru diterapkan secara menyeluruh pada 1859 lewat aturan khusus. Aturan ini mengatur secara jelas mekanisme penerimaan orang yang baru saja pulang haji.
Lewat mekanisme ini, mereka bakal melalui serangkaian ujian. Apabila lolos ujian, maka mereka diharuskan menyantumkan gelar haji dalam sapaan atau namanya. Sekaligus juga diwajibkan mengenakan pakaian khas orang haji, yakni jubah ihram dan sorban putih.
Latar belakang aturan ini sebenarnya berangkat dari ketakutan dan sikap traumatis pemerintah Hindia Belanda. Sebab, di abad ke-19, banyak pemberontakan bermula dari mereka yang pulang haji. Salah satu yang terbesar adalah Perang Jawa, dari 1825 hingga 1830.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Jadi, tak heran kalau pemerintah memandang itu semua dengan penuh kewaspadaan. Lewat pencantuman gelar haji, mereka mudah untuk mengawasinya.
Apabila ada pemberontakan, maka pemerintah akan langsung menangkap orang bergelar haji di suatu daerah. Ini tentu lebih efektif dan efisien dibanding harus mencari dalang dari suatu pemberontakan.
Sebab, dalam pikiran Belanda, pemberontakan sudah pasti dipelopori jamaah haji. Dari sinilah, asal-usul penyebutan gelar haji di Indonesia.
Sejak aturan tersebut diberlakukan, pemerintah kolonial Belanda sama sekali tidak mengendurkan pengetatan itu. Di abad ke-20, ketika ajaran Islam tersiar dari Makkah ke Indonesia, mereka tetap mengawasi ketat eks-jamaah haji.
Sayangnya, arus dekolonisasi di Indonesia pasca-kemerdekaan tidak melunturkan panggilan politis tersebut. Alhasil, panggilan itu tetap terwariskan lintas generasi hingga sekarang.
——–
Artikel ini telah tayang di CNBC Indonesia.