Sebelum menulis novel ‘Max Havelaar’ yang masyhur itu, Eduard Douwes Dekker pernah singgah di Bogor selama hampir dua bulan. Tujuan utamanya adalah menemui Gubernur Jenderal Charles Ferdinan Pahud untuk melaporkan berbagai penyimpangan yang terjadi oleh Residen Rangkasbitung, Dumaeyer van Twist dan Demang Karta Nata Nagara.
Namun, Eduard tak punya akses langsung untuk masuk ke kediaman Pahud di Puri Buitenzorg (sekarang Istana Bogor). Alternatifnya dia selama beberapa hari menginap di Hotel Binnenhof (Hotel Salam The Heritage) yang berhadapan langsung dengan Puri Buitenzorg.
Rupanya kehadiran Eduard sudah lebih dahulu diketahui Pahud sehingga dia menghindari untuk berjalan-jalan pagi hingga ke depan Binnenhof.
Karena uang di kantongnya kian cekak, Eduard akhirnya pindah ke Hotel Bellevue (kini menjadi Bogor Trade Mall) yang tarifnya lebih murah. Justru setelah menginap di sinilah, ia akhirnya bisa berjumpa dengan Pahud.
“Kehadiran Eduard di Bogor itu sejak 26 April hingga pertengahan Mei 1856. Namun karena sudah lebih dulu mendapat bocoran tentang apa yang disampaikan Eduard, saat berjumpa Pahud berusaha mengalihkan pembicaraan ke isu-isu lain dan berlangsung tidak terlalu lama,” kata Abdullah Abubakar Batarfie, salah satu pemandu, yang juga salah satu pendiri Japas sekaligus ketua Pusat Informasi dan dok Al Irsyad, saat napak tilas ke Hotel Salak, Sabtu (7/6/2025).
Karena kecewa laporannya tak dapat disampaikan dengan utuh, Abdullah melanjutkan, Eduard akhirnya menuliskan berbagai masalah yang terjadi di Rangkasbitung dalam bentuk novel yang terbit pada 1960 di Belanda. Judulnya, Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij”.
Buku itu berhasil mengguncang dunia. Pada 1973, sastrawan HB Jasin menerjemahkan novel tersebut dengan judul Max Havelaar.
Untuk mengabadikan jejak Eduard, hotel tersebut menyimpan lukisan dan patungnya. “Dulu sempat dipajang di President Suites ini, sekarang disimpan di ruang manajemen,” kata Guest Relations Officer Hotel Salak, Fitri.
Hotel Salak menjadi satu situs sejarah yang dikunjungi dalam rangka peringatan ulang tahun ke-543 Bogor. Semua peserta diizinkan untuk memasuki hotel ini, antara lain ke kamar suites yang menjadi favorit para tamu karena menghadap langsung ke halaman Istana Bogor. Berbeda dengan bangunan-bangunan Belanda di Batavia (Jakarta) yang punya langit-langit tinggi, di kamar hotel ini tergolong rendah.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
“Karena cuaca di Bogor kan sudah dingin seperti di Eropa. Hingga tahun 1970-an, jam 9 pagi di sini masih sering berkabut lo,” kata Endang Sumitra, mantan Kepala Sub Bagian Rumah Tangga dan Protokol Istana Bogor itu menjadi salah satu narasumber acara napak tilas, selain pendiri Komunitas Japas, Jhonny Pinot.
Pada 1856, Hotel Salak dimiliki keluarga Pahud. Namun pada 1913, karena kesulitan keuangan hotel ini beralih pemilik dan nama menjadi NV American Hotel. Pada 1922, EA Dibbets sebagai pemilih saham mayoritas mengubah nama hotel menjadi Dibbets Hotel.
Sepuluh tahun kemudian namanya kembali berganti menjadi Bellevue Dibbets. Nama Hotel Salak disematkan pada 1950 setelah hotel ini resmi menjadi milik pemerintah Indonesia.
Bangunan dan lokasi bersejarah lainnya yang dikunjungi antara lain Lapangan Sempur, Rumah Dinas Walikota Bogor, dan Sinagoge yang kini menjadi Kantor Badan Pertanahan Nasional. Acara ini menarik minat dan antuasisme dari sekitar 30 peserta dari berbagai wilayah di Bogor, Depok, dan Jakarta.
Tak cuma warga biasa, di antara peserta juga terlihat Direktur Utama Panin Dubai Syariah Bratha Widjaja, Manajer Public Relations Goodyear Dinda Puspita M. Harianto, Manajer Marketing Ali Bagasi, Harianto, mantan Manajer CSR Pertamina Ifky Sukarya, dan Ivan Maulana, mahasiswa jurusan Manajemen Industri IPB, dan seorang mahasiwa Fakultas Peternakan Unviersitas Brawijaya, Malang.
“Acara seperti ini menambah pengetahuan buat saya yang lahir dan besar di Bogor untuk lebih mencintai tanah kelahiran,” kata Ivan.