GIPI Kecewa Disingkirkan dari UU Kepariwisataan, Kemenpar Merespons

Posted on

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menanggapi keberatan yang disampaikan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) terkait Undang-Undang Kepariwisataan. Melalui Biro Komunikasi, Kemenparekraf menegaskan bahwa proses penyusunan UU tersebut dilakukan secara terbuka dan partisipatif, dengan tetap melibatkan pelaku industri pariwisata.

UU Kepariwisataan itu disahkan DPR RI pada 2 Oktober. Setelah itu, muncul keberatan dari GIPI. Setidaknya dua poin yang disorot oleh Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani.

Dia kecewa GIPI tidak disebut dalam Undang-Undang Kepariwisataan terbaru. Dia juga mengkritik bahwa undang-undang yang baru saja disahkan itu tidak membahas aspek pendanaan yang krusial dalam mengelola industri pariwisata.

Kemenpar merespons dengan menjelaskan beberapa hal yang menjadi keberatan GIPI melalui siaran pers.

“Bahwa Perubahan Ketiga Undang Undang No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan adalah hak inisiatif DPR RI dan dalam proses penyusunannya telah dibahas bersama Pemerintah dan Industri Kepariwisataan secara terbuka dan telah dilakukan berbagai rangkaian konsultasi publik,” pernyataan pertama dari Kemenpar.

“Tentang Pelibatan asosiasi kepariwisataan tercantum dalam Bab IV Pasal 8 ayat (2) huruf j yang membahas ekosistem kepariwisataan. Dalam Bab VII Pasal 22 tercantum bahwa setiap pelaku usaha pariwisata berhak membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan. Atas dasar tersebut maka asosiasi kepariwisataan dapat tetap berperan dalam membangun serta mengembangkan pariwisata Indonesia,” peranyataan kedua Kemenpar.

Dalam siaran pers itu, Kemenpar juga berjanji bahwa koordinasi dan hubungan kemitraan strategis antara pemerintah dan pelaku industri pariwisata tetap dapat diatur secara lebih fleksibel melalui peraturan pelaksana ataupun mekanisme kerja sama lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan sektor pariwisata.

Bagaimana soal pembentukan Indonesia Tourism Board yang diharapkan bisa terwujud oleh GIPI dan tentang pungutan wisatawan asing?

“Kementerian Pariwisata memahami pentingnya pembentukan Tourism Board dalam pengembangan Pariwisata Indonesia. Namun, dalam konsultasi Pemerintah dan DPR RI disepakati untuk tidak mengatur pembentukan badan dan nomenklatur/ tugas fungsi tersebut dalam undang-undang,” pernyataan lanjutan Kemenpar.

Kemudian, disebutkan juga tanggapan terhadap usulan GIPI soal konsep Badan Layanan Umum Pariwisata (BLU Pariwisata) dengan membuat pungutan dari Wisatawan Mancanegara.

“Perlu kami jelaskan bahwa menurut Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, dalam Pasal 1 Ayat 1 tertulis: Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa Mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas,” pernyataan Kemenpar.

“Aturan lebih lanjut mengenai BLU selanjutnya dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum Nomor 129/PMK.05/2020,” pernyataan Kemenpar.

“GIPI mengatakan bahwa: “Dalam Undang-Undang tentang Kepariwisataan yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 2025, ternyata konsep pungutan dari Wisatawan Mancanegara usulan GIPI diambil oleh Pemerintah.” Perlu kami tegaskan bahwa konsep pungutan wisatawan mancanegara merupakan usulan DPR RI,” pernyataan dilanjutkan.

Kemudian, menanggapi pernyataan bahwa: “Pemerintah tidak bisa hanya menikmati pendapatan berupa Devisa, Pajak dan PNBP dari sektor pariwisata tanpa membantu Industri Pariwisata untuk terus mengembangkan pasarnya,” Kemenpar menyebut bahwa Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pariwisata, selalu memfasilitasi industri pariwisata melalui kebijakan.

“Kebijakan itu antara lain PPh 21 DTP untuk Pekerja di sektor terkait pariwisata dengan gaji di bawah Rp 10 juta, program magang lulusan Perguruan Tinggi selama 6 bulan, termasuk untuk lulusan baru (D1-D4 dan S1) yang akan bekerja di sektor pariwisata, anggaran pemasaran Kementerian Pariwisata digunakan untuk mempromosikan destinasi pariwisata dan memfasilitasi industri pariwisata dalam mempromosikan produk pariwisata, kemudian memfasilitasi sertifikasi dan pelatihan berbasis kompetensi untuk tenaga kerja pariwisata, dan dukungan untuk meningkatkan promosi dan standar usaha,” keterangan Kemenpar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *