Kisah Naga Jawa Penjaga Laut dan Alam Ciletuh, Ini Wujudnya Sekarang

Posted on

Naga dan semua cerita kebijakannya banyak mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Kisah naga Jawa dikenal masyarakat perairan Ciletuh sebagai makhluk purba yang tak terlihat namun selalu ada. Kepercayaan ini diwariskan turun temurun hingga membentuk cara pandang masyarakat terhadap alam sekitar.

Dikutip dari detikJabar, masyarakat percaya alam sekitar harus dihormati dengan dijaga kelestarian dan keseimbangannya. Siapa saja yang tidak menghormati alam akan memperoleh peringatan sesuai dosanya. Mitos naga Jawa perairan Ciletuh begitu berakar, hingga warga menyebut deretan batu purba di wilayahnya sebagai Batu Punggung Naga.

Lokasi Batu Punggung Naga di Desa Mandrajaya, Kecamatan Ciemas adalah bagian dari zona inti UNESCO Global Geopark Ciletuh-Palabuhanratu. Batu ikonik yang menyimpan jejak perjalanan bumi selama kurang lebih 60 juta tahun ini berada tepat di kawasan Suaka Margasatwa Cikepuh. Terlepas dari kisah tersebut, batuan ini adalah saksi terbentuknya Pulau Jawa.

Setiap alur dan retakan menyimpan kisah pasang surut air laut serta proses tektonik lain. Proses ini terjadi berulang dalam banyak fragmen sejarah hingga membentuk daratan yang kini dihuni manusia. Batu Punggung Naga kini bisa disaksikan masyarakat umum, setelah menempuh perjalanan satu jam dengan perahu dari Pantai Palangpang atau Pantai Cikadal.

Batu Punggung Naga benar-benar terlihat seperti ulat raksasa yang sedang meringkuk, dengan punggung menghadap langit luas. Sementara, kepala sang naga yang tubuhnya sedang berada di daratan memandang laut lepas. Punggung naga dipenuhi sisik yang kini bisa dilihat sebagai batuan penuh gerigi dan guratan halus serta kasar.

Menurut General Manager Ciletuh Palabuhanratu UNESCO Global Geopark (CPUGGp), Aat Suwanto, Batu Punggung Naga adalah bagian dari Formasi Ciletuh. Salah satu formasi batuan tertua di Jawa Barat ini berasal dari zaman Eosen sekitar 56-65 juta tahun lalu. Batu Punggung Naga terdiri dari batuan pasir kuarsa yang mengeras akibat tekanan bumi.

“Formasi Batu Punggung Naga terbentuk dari proses geologi jutaan tahun lalu. Sekarang, formasi batuan ini tidak hanya menjadi ikon wisata unggulan, tapi juga laboratorium alam untuk banyak riset,” kata Aat.

Data Pusat Penelitian Geoteknologi dan Kebencanaan Geologi LIPI (kini BRIN) menyatakan punggung naga terbentuk akibat proses erosi, abrasi, dan pelapukan. Selain itu perbedaan tingkat kekerasan lapisan batu, arus air laut, ombak, dan iklim ikut menbentuk relief mirip sisik pada punggung naga.

Peneliti juga menemukan fosil organisme laut purba di Batu Punggung Naga dan formasi batuan lain di Geopark Ciletuh. Temuan ini membuktikan wilayah Ciletuh dulunya berada di dasar laut dalam, yang mengalami proses panjang hingga terangkat menjadi daratan. Dengan banyaknya jejak yang disimpan Batu Punggung Naga, sudah selayaknya kelestarian formasi batuan terus dijaga.

Karena itu, masyarakat dan peneliti mengkritik keras pengendara motor cross yang melintasi Batu Punggung Naga pada 2017. Tindakan ini dikhawatirkan dapat merusak formasi dan tiap relief yang ada di tempat tersebut. Wisatawan boleh saja mengambil foto atau melintasinya, asal dilakukan sesuai aturan untuk menjaga kelestarian Batu Punggung Naga.