Kolam Renang Cikini, Warisan Kolonial yang Masih Eksis Hingga Kini

Posted on

Kolam Renang Cikini bukan kolam renang biasa. Kolam renang itu merupakan salah satu kolam renang tertua di Jakarta yang telah ada sejak masa kolonial Belanda.

Bangunan itu masih eksis digunakan hingga kini, meskipun telah mengalami sejumlah perubahan. Pada masa awal pembangunannya, kolam ini memiliki kedalaman sekitar 12,5 meter, yang kemudian ditambah hingga mencapai sekitar 13,5 meter.

Saat ini, kedalaman kolam disesuaikan menjadi sekitar 3 meter demi keamanan, sementara lebar kolam relatif tidak berubah sejak dahulu.

“Masih ada, cuman sudah diubah gitu. Dulu tingginya dekat dalamnya 1,2 meter. Sekarang ditambahkan lagi jadi 3 meter,” kata Mutia, kepada detikTravel dalam walking Tour Cikini bersama Disparekraf DKI, Sabtu (13/12/2025).

Pada masa lalu, Kolam Renang Cikini diyakini memiliki lebih dari satu kolam. Namun, seiring berjalannya waktu dan perubahan fungsi, kini hanya tersisa satu kolam utama. Meski demikian, bentuk bangunan dan atmosfer klasiknya masih terasa kuat, menjadikannya lokasi yang sarat nilai sejarah sekaligus nostalgia bagi warga Jakarta.

Kolam itu sempat menjadi sorotan dan kontroversi pada zamannya. Awalnya, kolam renang ini terbuka untuk semua kalangan tanpa memandang latar belakang ras atau status sosial. Pribumi, Tionghoa, maupun orang Eropa dapat berenang bersama. Namun, interaksi sosial yang terjadi di dalam kolam memicu kecemburuan dan konflik, bahkan berujung pada sejumlah skandal dan pertikaian.

Akibat kondisi tersebut, pemerintah Hindia Belanda kemudian memberlakukan kebijakan diskriminatif. Akses kolam renang dibatasi hanya untuk orang Eropa dan Belanda, sedangkan pribumi dan Tionghoa dilarang masuk. Papan pengumuman diskriminasi dipasang di pintu masuk, menjadikan Kolam Renang Cikini sebagai saksi nyata praktik segregasi sosial pada masa kolonial.

Kini, Kolam Renang Cikini berada di bawah pengelolaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dengan tarif masuk sekitar Rp 50.000 sejak pagi hari, kolam ini masih diminati pengunjung, terutama mereka yang ingin merasakan sensasi berenang di kolam dalam dengan harga terjangkau.

Tak sedikit pula pengunjung yang datang untuk bernostalgia, mengenang masa muda mereka di tempat bersejarah ini. Kawasan Cikini sendiri memiliki sejarah panjang yang tak lepas dari sosok pelukis legendaris Raden Saleh.

Di Atas Lahan Milik Raden Saleh

Sebagian besar wilayah ini dahulu merupakan milik Raden Saleh, seniman Indonesia yang diakui di tingkat internasional.

Sepulang dari Eropa, ia membeli sebidang tanah di Cikini dan membangun rumah bergaya istana yang terinspirasi dari arsitektur Eropa, yang kini termasuk dalam kawasan Rumah Sakit PGI Cikini.

Selain sebagai tempat tinggal, kawasan Raden Saleh dahulu juga dilengkapi taman luas dan kebun binatang pribadi. Kecintaannya terhadap satwa, khususnya singa dan harimau, tercermin dalam karya-karyanya yang detail dan ekspresif.

Setelah Raden Saleh wafat tanpa keturunan, kawasan itu kemudian mengalami perubahan fungsi pada masa Gubernur Ali Sadikin. Ali Sadikin menggagas kawasan tersebut sebagai pusat kesenian, terinspirasi dari ruang-ruang kreatif seniman di Eropa.

Dari gagasan tersebut lahirlah Taman Ismail Marzuki (TIM), yang dinamai untuk menghormati komponis besar Ismail Marzuki. Kawasan ini kemudian berkembang menjadi pusat seni, budaya, dan pendidikan, dengan berbagai bangunan ikonik seperti planetarium, teater, perpustakaan, serta masjid.

Selain seni dan budaya, kawasan Cikini juga dikenal dengan jejak sejarah ekonomi dan kuliner legendaris. Mulai dari toko kacamata Kasung, pabrik roti Tan Ek Tjoan, hingga kedai kopi tua seperti Kopi Warung Tinggi dan Bakul Kopi, semuanya menjadi bagian dari identitas Cikini. Hingga kini, Cikini tetap hidup sebagai kawasan yang memadukan sejarah, seni, dan kehidupan urban Jakarta dalam satu ruang yang berharga.