Kyoto, kota budaya ternama di Jepang, tengah menghadapi penurunan jumlah wisatawan domestik menjelang musim gugur. Warga lokal kewalahan pelesiran di kota sendiri karena harga-harga mahal, sudah begitu turis-turis asing membeludak.
Melansir Travel Daily News, Selasa (7/10/2025) saat ini sebagian besar pengunjung di destinasi populer seperti Fushimi Inari didominasi turis asing. Mereka menilai kota itu sudah mengalami overtourism atau ledakan wisatawan.
Ditambah lagi tingkah konyol wisatawan. Ada yang menggambarkan turis-turis berkerumun dan sibuk memotret petugas pemadam kebakaran pada beberapa kejadian darurat.
“Di Kiyomizu-dera, terlalu banyak orang, dan wisatawan asing sering berhenti tiba-tiba,” kata seorang wisatawan lokal dari Shiga berusia 60-an.
Sementara itu, pengunjung dari Osaka menyampaikan niatnya untuk menghindari keramaian.
“Mungkin saya akan ke area Kyoto yang belum terlalu terkenal, tapi saya akan menjauhi spot-spot wisata utama untuk sementara,” kata wisatawan dari Osaka tersebut.
Tak hanya wisatawan, sekolah-sekolah juga mulai mengalihkan tujuan study tour. Sebuah SMP di Tokyo melaporkan bahwa murid-muridnya hanya bisa menyelesaikan setengah dari jadwal perjalanan karena padatnya turis. Mulai tahun depan, mereka berencana memilih lokasi lain.
Penduduk Kyoto juga menyuarakan keluhan terkait naiknya tarif penginapan yang drastis. Banyak wisatawan domestik kini memilih untuk tidak bermalam dan hanya berkunjung singkat.
Data resmi mencatat, pada 2024 jumlah turis mancanegara ke Kyoto mencapai 8,21 juta, untuk pertama kalinya melampaui turis domestik yang berjumlah 8,09 juta.
Untuk menghadapi masalah tersebut, Kamar Dagang dan Industri Kyoto mulai bekerja sama dengan universitas serta perusahaan swasta guna menganalisis perilaku wisatawan dan pola kepadatan menggunakan data lokasi.
Lonjakan turis asing juga berdampak pada bisnis tradisional. Di Jusanya, toko sisir Boxwood berusia 140 tahun, pelanggan lokal makin berkurang. Insiden kecil seperti es krim yang tumpah hingga kerusakan barang kerajinan pun menjadi tantangan baru.
“Pelanggan kami menurun, banyak orang tidak nyaman dengan kondisi sekarang. Turis asing kadang datang makan es krim di dalam toko. Tanpa saya sadari, lantainya sudah kotor, beberapa sisir yang dibuat dengan hati-hati selama waktu lama, pecah saat dipegang,” ujar pemilik toko, Kumiko Takeuchi.
Sebagai salah satu destinasi budaya paling ikonik di Jepang, Kyoto kini tengah mencari solusi jangka panjang. Upaya pengaturan wisatawan dan pembenahan infrastruktur jadi perhatian utama, agar keseimbangan antara kunjungan internasional dan kenyamanan warga serta wisatawan lokal dapat terjaga.