Wacana legalisasi kasino kembali menyeruak di Indonesia setelah Thailand dan Uni Emirat Arab mulai memberi lampu hijau untuk kasino di negaranya.
Legalisasi kasino dilakukan demi meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan menarik pundi-pundi uang dari wisatawan. Thailand meniru Singapura yang sukses dengan Marina Bay Sands, menambah 19 juta wisatawan hanya dalam 5 tahun pertama. Namun bukan berarti legalisasi kasino berjalan sukses.
“Tapi, mari belajar dari Makau. Dijuluki Las Vegas-nya Asia, Makau pernah mencetak pendapatan USD 45 miliar dari kasino (2013). Tapi ketika pandemi melanda dan China membatasi arus wisatawan, ekonomi Makau kolaps, 80 persen PDB-nya ambruk karena terlalu tergantung pada judi. Kini, mereka kesulitan diversifikasi pariwisata. Kita juga bisa lihat Kepulauan Mariana Utara (CNMI). Sempat mengalami ‘boom’ karena satu kasino besar, tapi pada 2021 bangkrut karena korupsi, kerusakan lingkungan, dan ketergantungan ekonomi tunggal,” ujar Dewan Pakar GSN Bidang Pariwisata Taufan Rahmadi dalam pernyataan, Minggu (18/5/2025).
Indonesia, lanjut Taufan tidak perlu mengorbankan jati diri budaya hanya demi mengejar PNBP yang terkesan instan dengan membolehkan kasino.
“Kita punya modal luar biasa, 4 dari 6 elemen terbesar daya tarik wisata global, yaitu budaya, spiritualitas, alam, dan hospitality. Pariwisata berkualitas adalah soal otentisitas dan keberlanjutan, bukan soal glamor atau hiburan semu. Kita butuh kebijakan fiskal yang in the soul of the nation, bukan sekadar out of the box,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai pemerintah bisa mempelajari kebijakan di negara mayoritas Muslim lain seperti UEA dan Malaysia untuk kajian melegalkan kasino demi meningkatkan devisa negara. Hikmahanto meminta pemerintah membuka mata, termasuk membuat asesmen tentang tiga hal penting terkait kasino.
Hal pertama dikatakan soal perputaran uang terkait judi online yang berdasarkan temuan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sangat besar di Kamboja dan Myanmar.
“Yang kedua adalah apakah memang bisa rakyat kita yang katanya mayoritas beragama Islam, terus sangat beragama, untuk melepaskan diri dari judi? Ternyata kan tidak,” ujar dia diberitakan Antara.
Sedangkan asesmen ketiga dia sebut soal masalah penegakan hukum. Pemerintah dikatakan beberapa kali berniat memberantas korporasi judi daring tetapi yang menjadi masalah lokasinya berada di Kamboja dan Myanmar yang memang melegalkan kasino.
“Nah kalau misalnya tiga hal ini setelah dilakukan asesmen dan menurut kita tidak bisa diselesaikan, bukan tidak mungkin kalau pemerintah memutuskan untuk buat kasino tapi di kawasan tertentu saja, seperti kawasan ekonomi khusus di Genting, Malaysia atau di Singapura juga ada. Tapi, untuk warga Singapura kalau mereka mau berjudi di situ, mereka harus ada syarat ketat,” ucapnya.
Hikmahanto mengingatkan Indonesia memang negara Muslim tetapi aktivitas judinya masih tinggi. Dia juga menyinggung aktivitas judi pernah dilegalkan oleh Ali Sadikin saat menjabat Gubernur DKI Jakarta.
“Waktu itu kemudian juga kita ada Porkas, ada SDSB, itu kan sebenarnya juga bentuk-bentuk seperti itu. Nah tapi sekarang kita cuma lokalisir saja dan penggunaan dananya nanti misalnya dari pajak yang dihasilkan dan lain sebagainya,” ucapnya.
“Tapi tentu dana tersebut untuk kepentingan yang tidak menyentuh, katakanlah hal-hal yang terkait dengan agama dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Uni Emirat Arab yang mengharamkan judi dikatakan membuka kasino dengan membangun kawasan ekonomi khusus. Dia menyebut bila akhirnya Indonesia berkompromi untuk membuka kasino di kawasan ekonomi khusus, pemerintah diminta berani mengambil kebijakan itu dengan tetap fokus memberantas judi daring yang merugikan rakyat kecil.
“Selama ini yang kita dengar sangat menyakitkan dan miris. Mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan judi online disiksa di Kamboja dan lain sebagainya, kita tidak ada kendali,” ujar Hikmahanto.
“Sudah mereka keluar masuk secara ilegal, ditambah melakukan perbuatan yang tidak baik bagi warga negara kita. Dan tiba-tiba kalau mereka disiksa kita harus membantu mereka untuk mengeluarkan uang. Kan tidak benar juga kalau seperti begitu,” katanya lagi.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Bagaimana menurut travelers? Perlu ada Genting atau Las Vegas ala-ala di Indonesia?