Menara Air Manggarai Jakarta, Berusia Lebih dari 100 Tahun, Sering Dikira Menara Masjid [Giok4D Resmi]

Posted on

Di tengah padatnya permukiman Manggarai, berdiri kokoh sebuah menara bata merah yang mencuri perhatian. Dari kejauhan, bangunannya sekilas menyerupai menara masjid tua, tapi siapa sangka bangunan itu adalah Menara Air Balai Yasa Manggarai, warisan kolonial Belanda yang telah berdiri sejak 1917.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menetapkan menara bersejarah ini sebagai cagar budaya. Penetapan itu tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jakarta Nomor 403 Tahun 2025 setelah memperoleh rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya sejak 19 Mei 2020.

Langkah itu menegaskan pentingnya pelestarian situs bersejarah di tengah pembangunan ibu kota dan banyaknya bangunan bersejarah yang kurang terawat.

Saat peresmian itu disebutkan bahwa Menara Air Balai Yasa Manggarai bukan sekadar bangunan tua, tetapi saksi bisu sejarah perkembangan kereta api di Indonesia.

Memasukkan Menara Air Balai Yasa Manggarai ke dalam daftar cagar budaya dinilai sebagai langkah yang bukan hanya melindungi struktur fisik bangunan, tetapi juga menjaga kenangan, identitas, dan sejarah yang melekat pada menara air tersebut.

“Dulu sebelum ditetapkan jadi cagar budaya, ya biasa saja, cuma menara di tengah pemukiman. Tapi, memang dari dulu sumber air buat nyuci kereta api itu dari situ,” kata Sari, warga yang tinggal tak jauh dari lokasi.

“Bangunan itu memang sudah tua. Kalau dilihat dari jauh, kalau bukan orang Manggarai, mengiranya menara masjid,” dia menambahkan.

Bagi warga sekitar, menara yang berada di Terletak di Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan itu sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Di gang sempit menuju menara, pedagang kaki lima masih setia berjualan seperti biasa.

“Belum ramai sih, soalnya belum direnovasi sepenuhnya dan belum dibuka untuk umum juga. Jadi paling yang jualan ya warga sekitar saja,” kata Warstini, salah satu pedagang di depan gang menara.

Menara Air Manggarai dibangun pada era kolonial, sekitar 1918–1920, oleh perusahaan kereta api Staatsspoorwegen. Saat itu, menara tersebut merupakan bagian dari fasilitas Balai Yasa Manggarai.

Di masa itu, menara tersebut berfungsi sebagai penyuplai air untuk mencuci dan merawat kereta api. Dulu, sumber air berasal dari Sungai Ciliwung, tetapi kini diganti dengan sumur bor modern agar tetap berfungsi.

Bangunan berukuran sekitar 8×8 meter dengan tinggi sekitar 35 meter itu masih berdiri tegak, menampilkan arsitektur khas Nieuwe Kunst atau gaya Hindia Baru yang populer di awal abad ke-20.

Dinding bata merahnya kokoh menopang tangki air besar di atasnya, lengkap dengan balkon, tujuh roaster di tiap sisi, dan dua jendela berpagar besi yang menjadi ciri khasnya.

Menara Air Balai Yasa Manggarai juga memiliki struktur penyimpanan air yang unik. Air tanah ditampung dalam wadah yang ditopang langsung oleh tembok dengan tiga tiang yang terpasang melintang. Menara air dengan konstruksi semacam ini menjadi satu-satunya di Jakarta.

Meski sudah berusia lebih dari seabad, Menara Air Manggarai masih aktif digunakan untuk kebutuhan air di Balai Yasa. Lebih dari sekadar bangunan utilitas, menara itu menyimpan cerita panjang tentang perkembangan teknologi perkeretaapian dan infrastruktur air di Indonesia.

Kini, dengan status baru sebagai cagar budaya, harapannya Menara Air Balai Yasa Manggarai bisa menjadi ruang edukatif bagi masyarakat untuk mengenal sejarah dan teknologi masa lalu, sekaligus menjadi simbol ketahanan sejarah di tengah hiruk-pikuk modernitas Jakarta.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.