Mendaki Gunung Kian Digemari, Pemerintah Diminta Atur Kuota-Standar Pemandu

Posted on

Tren wisata pendakian gunung di Indonesia terus melonjak. Salah satu pemandu gunung Lazuardi meminta agar pemerintah lebih tegas mengatur wisata pendakian gunung untuk demi keselamatan pendaki dan kelestarian alam.

Lazuardi berpendapat peminat pendakian gunung sudah bergeser, bukan hanya mereka yang memiliki kemampuan fisik dan pengalaman mendaki dan tergabung dalam komunitas mendaki gunung. Kini, gunung menjelma menjadi destinasi wisata massal yang ramai diserbu pendaki dari berbagai kalangan.

Tidak sedikit wisatawan yang mendaki gunung demi konten, ikut-ikutan, atau penasaran dengan keindahan di puncak gunung.

Di saat bersamaan, tren itu membawa dampak positif bagi ekonomi lokal, misalnya bagi porter dan guide, juga homestay dan UMKM di kaki gunung.

“Dulu, masyarakat hanya mengandalkan sektor pertanian atau pekerjaan informal. Sekarang, dengan ramainya pendakian, masyarakat bisa mendapatkan penghasilan dari penyewaan alat, porter, ojek, warung, hingga pemandu wisata,” kata Lazuardi.

Menurut Ade, sapaan karib Lazuardi, pemandu gunung yang berbasis di lereng Gunung Slamet, Banyumas, Jawa Tengah, kondisi itu seharusnya diikuti dengan respons pemerintah untuk menyusun regulasi pendakian gunung yang jelas dan ketat. Sebab, risiko mendaki gunung menjadi lebih tinggi saat ini.

Dengan peningkatan jumlah pendaki itu dampaknya terasa terhadap pertumbuhan ekonomi lokal. Bahkan, bisa dibilang gunung menjadi salah satu tulang punggung penghasilan di berbagai daerah.

“Peningkatan ekonomi ini harus diiringi dengan pengelolaan yang baik agar kelestarian lingkungan dan keselamatan tetap terjaga,” kata Ade.

Perlu Regulasi Daya Dukung dan Daya Tampung

Ade mengatakan Kementerian Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pariwisata serta pemerintah provinsi dan kabupaten/kota bersama pengelola taman nasional atau pengelola kawasan harus segera merumuskan regulasi yang mengatur daya dukung dan daya tampung setiap gunung. Tanpa pembatasan jumlah pendaki, ekosistem gunung terancam rusak, sampah menumpuk, dan risiko kecelakaan meningkat.

“Tidak semua gunung bisa menampung ribuan orang sekaligus. Harus ada kajian daya dukung lingkungan dan kuota pendaki yang ketat,” kata Lazuardi.

Dia menyarankan penerapan sistem pendaftaran online yang transparan, seperti yang sudah dilakukan di beberapa gunung populer, agar arus pendaki tetap terkontrol.

Bagi jalur yang dikelola oleh Perhutani atau swasta, Lazuardi menilai aturan soal sampah dan keamanan pendaki juga harus diperketat.

“Banyak kasus pendaki yang hanya mengejar foto-foto indah tapi tidak paham bagaimana menjaga kebersihan dan keselamatan di gunung,” ujar Lazuardi.

Dia meminta perlunya aturan tegas seperti mewajibkan pendaki membawa turun sampah sendiri (Zero Waste Hike) dan menyediakan standar keamanan minimum seperti rambu evakuasi, pos darurat, hingga pengecekan peralatan sebelum pendakian.

Lazuardi menekankan bahwa bagi pendaki pemula, menggunakan jasa pemandu gunung profesional adalah langkah bijak. Pemandu yang tergabung dalam APGI telah memiliki sertifikasi nasional dan terlatih menghadapi berbagai situasi darurat di gunung.

“Pemandu bukan cuma penunjuk jalan, tapi juga penjaga keselamatan. Mereka tahu kapan harus naik, kapan harus mundur. Mereka paham standar K3: Keselamatan, Keamanan, dan Kesehatan,” kata dia.

Dia mengingatkan kecelakaan di gunung sering terjadi bukan karena kondisi alam semata, tapi karena minimnya pengetahuan dan keterampilan pendaki itu sendiri.

Pelibatan Masyarakat Lokal dan Kolaborasi Kementerian

Agar wisata pendakian tetap berkelanjutan, Lazuardi mendorong pelibatan masyarakat lokal dan asosiasi pemandu dalam pengelolaan. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal pemberdayaan dan pelestarian budaya lokal.

Dia juga mengajak Kementerian Pariwisata dan Kementerian Ekonomi Kreatif untuk lebih serius mendorong standarisasi dan sertifikasi pemandu gunung serta edukasi bagi wisatawan.

“Pariwisata gunung bukan hanya soal kunjungan, tapi juga soal tanggung jawab. Pemerintah, pengelola, masyarakat, dan pendaki harus bersinergi,” kata Lazuardi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *