Sungai Citarik yang melintasi kabupaten Sumedang dan kabupaten Bandung punya mitos kerbau gaib yang menjaga sungai tersebut. Bagaimana kisahnya?
Sosok kerbau gaib itu dikenal dengan nama Munding Dongkol oleh warga setempat. Alkisah, Munding Dongkol lahir dari kerbau betina yang sudah dianggap mandul namun dengan ajaib bisa hamil tanpa pejantan setelah dimandikan di air terjun curug Sindulang di wilayah hulu Sungai Citarik.
Sungai Citarik sendiri mengalir dari Gunung Kareumbi sepanjang 39,64 kilometer sampai terhubung ke Sungai Citarum, sungai terpanjang di Jawa Barat. Sungai ini melintasi dua wilayah, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung.
“Cerita Munding Dongkol ini dituturkan dari generasi ke generasi. Abah sendiri mendapatkannya dari nenek, dahulu,” kata Agus Surachman, Budayawan Sunda yang desa tempat tinggalnya dilintasi Sungai Citarik belum lama ini.
Nama Munding Dongkol tersusun atas dua kata, yaitu ‘munding’ yang berarti kerbau dan ‘dongkol’ yang berarti bentuk tanduknya yang jatuh melengkung ke bawah.
Munding Dongkol konon lahir dari perkawinan kerbau betina dan air sungai Citarik. Dahulu kala, seorang petani yang tinggal di kaki Gunung Kareumbi punya kerbau yang tangguh.
Meski betina, kerbau itu trengginas dan bukan pemalas jika diajak bekerja. Petani itu menyayangi kerbaunya, begitu juga kerbau itu taat dan khidmat bekerja bersama petani. Hitung-hitung berterima kasih atas rumput dan kandang yang aman dari binatang buas.
Lama sekali keduanya bekerja sama, mengolah tanah, membajak sawah, menciptakan lahan-lahan yang siap untuk ditanami padi supaya padi tumbuh subur dan hasilnya melimpah. Walakin, ada satu yang masih mengganjal dalam hati petani.
Meski sudah berumur, kerbau betinanya itu belum bunting juga. Padahal, beberapa kali kerbau itu dikumpul-kebokan dengan jantannya, namun belum ada tanda-tanda kebuntingan.
Petani itu ingin ada regenerasi kerbau, sebab bagaimanapun, kerbau yang semakin tua, mungkin tenaganya tidak sehebat ketika kerbau masih muda. Dalam doa-doa yang dipanjatkan, terselip harapan kerbaunya bunting.
Suatu malam, petani ini mendapat ‘ilapat’ (petunjuk) bahwa jika kerbaunya ingin beranak, cobalah untuk memandikannya di air terjun. Di tempatnya, air terjun terdekat adalah Curug Sindulang.
Ilapat itu pun menjadi petunjuk yang menggembirakan bagi petani. Setiap senja, usai kerbau itu dibawa bekerja, kerbau itu dimandikan di air terjun. Sementara petani beristirahat, kerbau pun tampak nyaman dalam pelukan air yang menyegarkan itu.
Beberapa kali mandi di curug, kerbau itu bunting. Dalam istilah Sunda dikenal ‘reuneuh mundingeun’ atau hamil seperti kerbau. Ini merujuk pada usia kehamilan orang seperti kebuntingan kerbau yang mencapai 12 bulan.
Kerbau ini usia kandungannya cepat matang, sehingga tiba-tiba anak kerbau yang diberi nama Si Dongkol telah lahir. Seperti keanehan waktu dikandung induknya, Si Dongkol juga tumbuh dengan cepat.
Badannya cepat besar dan kekar. Dengan begitu, petani mulai bisa mengajaknya bekerja membajak sawah-sawah di lembah-lembah kaki Gunung Kareumbi. Si Dongkol punya kekuatan yang hebat. Dia mampu membajak beragam sawah dan membuat petani bekerja kadang sampai terlalu sore.
Meski harus kembali pulang ketika hari sudah senja, petani tak lupa memandikan kerbau itu di Curug Sindulang, sebagaimana induknya dahulu juga dimandikan di situ. Si Dongkol senang, dia berendam dengan tenang di situ.
Suatu sore sehabis bekerja, sebagaimana biasa, Si Dongkol dibawa mandi ke Curug Sindulang. Namun, kali itu kerja petani terlalu capai dan membuatnya mengantuk.
Sementara kerbau mandi, petani itu ketiduran di atas batu. Ditambah, sore itu angin sepoi begitu enak menyapu badannya sepeti menina-bobokan.
Terjaga dari tidur, petani dikejutkan dengan Si Dongkol yang hilang. Dia mencoba untuk masuk ke dalam air, meraba-raba dengan tangannya dan menerjang-nerjang air dengan kakinya barangkali ada Si Dongkol sedang menyelam. Nyatanya, Si Dongkol hilang.
Petani itu kemudian bertanya-tanya kepada penduduk kampung barangkali ada yang menemukan Si Dongkol. Tapi tak satupun mengetahuinya. Kesedihan besar. Anak kerbau yang dinanti-nanti lama itu faktanya hilang ditelan air terjun.
Suatu hari, dalam situasi yang sedih itu, petani mendengar sebuah bisikan agar dia merelakan Si Dongkol untuk tugas yang lebih besar, yaitu menjaga Sungai Citarik.
“Geus tong jadi pikiran mana kieu gé geus jadi milik urang duaan kudu papisah, pangbakti kula ayeuna mah rék dibaktikeun ka sakumna jalma nu aya di sapanjang walungan Citarik, kula rék ngatur cai walungan ieu sangkan teu kasaatan mun usum halodo sarta teu kacaahan mun usum ngijih, usum ngijih kula aya di girang usum halodo kula aya di hilir, kahadé ulah aya nu wani miceun naon waé kana walungan jajalaneun kula, mun aya nu ngarempak kula banget teu panuju, sarta bakal aya mamalana,” tulis Agus Surachman dalam catatan pribadinya nomor 13 berjudul ‘Dongéng Ahéng Si Dongkol’.
(Sudah jangan jadi pikiran, sudah menjadi bagian untuk kita berdua berpisah. Baktiku kini untuk semua orang yang tinggal di sepanjang Sungai Citarik. Saya akan mengatur air sungai, kalau kemarau supaya jangan kering, kalau hujan supaya tidak banjir. Kalau musim hujan saya ada di hulu, kalau musim kemarau saya ada di hilir. Tapi ingat, jangan ada yang berani membuang apapun yang kotor ke sungai. Kalau ada, saya sangat tak setuju dan bakal ada akibatnya).
Seperti janjinya, Si Dongkol menjanjikan bahaya jika masyarakat tidak menghormati sungai, yaitu ketika mereka yang tinggal di sepanjang Sungai Citarik sembarangan membuang rupa-rupa kotoran dan sampah ke sungai.
Si Dongkol akan datang menyapa masyarakat bersama datangnya banjir bandang. Mitos Munding Dongkol ini pun mengajarkan kita bahwa sungai bukan sekadar aliran air, melainkan sumber kehidupan yang harus dijaga bersama.
Mitos Munding Dongkol menjadi peringatan, jika kita tak menghormati alam, maka alam pun akan memberikan perlawanan. Jangan membuang sampah sembarangan, menjaga hulu sungai tetap hijau, dan saling mengingatkan satu sama lain agar sungai tetap bersih dan lestari.
——–
Artikel ini telah naik di detikJabar.