Nasib Miris Suku Dayak Punan Digilas Kemajuan Zaman

Posted on

Nasib masyarakat suku Dayak Punan di Kalimantan semakin miris. Keberadaan mereka makin terhimpit dan digilas kemajuan zaman.

Dosen Antropologi Universitas Indonesia, Rhino Ariefiansyah menyoroti program pemindahan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya terkait dampaknya terhadap masyarakat adat seperti Dayak Punan.

Masalah Kompleks yang Dihadapi Masyarakat Adat Dayak Punan

Rhino mengangkat isu kompleks yang dihadapi masyarakat adat Dayak Punan, khususnya terkait stigma dan marginalisasi.

Menurut dia, masyarakat Dayak Punan sering kali berada di posisi terpinggir dalam rantai nilai perdagangan hasil hutan, meskipun mereka memiliki keahlian dalam mengelola sumber daya alam.

“Mereka paling sedikit mendapatkan manfaat dari hasil hutan karena akumulasi keuntungan ada di daerah pesisir yang punya jaringan perdagangan internasional,” ungkapnya.

Faktor lain seperti sulitnya akses layanan kesehatan dan pendidikan di daerah terpencil juga memperburuk kondisi.

“Puskesmas pembantu atau sekolah sering tidak berfungsi optimal. Ditambah lagi, stigma historis membuat mereka dianggap rendah dibandingkan kelompok etnis lain,” jelas Rhino.

Ditambah lagi konflik akibat proyek pembangunan dan ekstraksi sumber daya alam, seperti penebangan dan pertambangan di wilayah masyarakat adat. Rhino menegaskan masyarakat adat Dayak Punan sering tidak memiliki suara untuk menyampaikan dampak yang mereka rasakan.

“Program atau proyek pembangunan harus memikirkan dampaknya terhadap ruang hidup masyarakat. Mereka harus dilibatkan secara bermakna, bukan hanya diberi kompensasi,” tegasnya.

Ia mencontohkan kasus di Sajepan Penang, di mana masyarakat Punan berjuang menjaga hutan mereka di tengah konflik dengan aktivitas pembalakan.

“Mereka berteriak mempertahankan hutan, tapi suara mereka sering diabaikan,” katanya.

Menurut dia, pemindahan masyarakat adat tidak boleh hanya sekadar memindahkan fisik masyarakat, tetapi harus mempertimbangkan ruang hidup yang mencakup relasi manusia dengan lingkungan dan budaya mereka.

“Dari perspektif antropologi, tempat tinggal bukan hanya rumah, tetapi ruang hidup yang melibatkan hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya. Pemindahan tidak bisa dilakukan secara top-down, harus ada perencanaan matang dan pelibatan masyarakat secara bermakna,” ujar Rhino.

——-

Artikel ini telah naik di detikKalimantan.