Anjloknya tingkat okupansi hotel di Jawa Tengah akibat efisiensi pemerintah membuat pengusaha hotel di sana menjerit.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Tengah (Jateng) menyebut ada penurunan tingkat okupansi hotel di hari biasa sekitar 30-40 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Hal ini diungkapkan Penasihat PHRI Jateng, Bambang Mintosih.
Menurut Bambang, hotel-hotel di Jateng sangat bergantung pada segmen Meeting, Incentive, Convention, dan Exhibition (MICE), terutama dari pemerintah. Namun hingga kini, belum ada anggaran pemerintah yang dibelanjakan untuk kegiatan di hotel.
“Kalau sampai tidak ada relaksasi, minimal yang 50 persen itu segera dibelanjakan. Ya sudah (hotel) pasti tenggelam,” ujar Benk, sapaan akrabnya, saat dihubungi akhir pekan lalu.
“Belum ada event, nggak segera dibelanjakan, ya pasti PHK. Ini berkurang jauh terutama hotel-hotel yang punya banyak meeting room, banyak ruang pertemuan pasti berkurang,” lanjutnya.
Ia menyebut, hotel hanya terbantu saat libur Lebaran dan long weekend. Namun selepas itu, okupansi hotel kembali drop.
“Sebetulnya sudah dari Januari, biasanya ada 1-2 event, ini nggak ada. Terus kebantu Lebaran. Yang paling kasihan ini tenaga harian di hotel,” tuturnya.
“Keputusan paling bijak ya meniadakan daily worker, mengandalkan anak-anak sekolah yang training, nggak dibayar,” lanjutnya.
Benk pun berharap pemerintah bisa segera hadir dan melakukan relaksasi termasuk pembelanjaan anggaran dan potensi insentif pajak. Ia juga mendorong pemerintah daerah untuk kreatif membuat event yang menarik wisatawan.
“Tinggal Pemda harus pandai bikin event. Waktu Waisak, Magelang penuh semua. Event motor besar juga bantu banget. Harusnya Semarang bisa bikin seperti itu,” tuturnya.
Ia mengingatkan, jika kondisi ini terus dibiarkan, dampak terburuk adalah gelombang PHK besar-besaran.
“Dampak terburuknya ya kukut. Kita ini capek ngeluh, sekarang inginnya bareng-bareng nyalakan lilin,” tutupnya.
——-
Artikel ini telah naik di detikJateng.