Overtourism di Kyoto Bikin Study Tour Tak Lagi Sama

Posted on

Ledakan wisatawan asing di Kyoto semakin sulit dikendalikan. Situasi itu sampai-sampai membuat sejumlah sekolah di Jepang meninggalkan ibu kota kuno tersebut sebagai destinasi wisata edukasi atau study tour siswa.

Kini, murid-murid harus menghadapi bus dan kereta bawah tanah yang penuh sesak, kuil dan kuil Buddha yang penuh pengunjung, hingga tarif hotel dan restoran yang melonjak dua hingga tiga kali lipat saat study tour. Akibatnya, perjalanan sekolah yang dulu dianggap sebagai pengalaman istimewa kini justru berujung pada kekecewaan bagi siswa dan frustrasi bagi orang tua.

“Banyak sekolah di wilayah Kanto (sekitar Tokyo) ingin membawa murid mereka ke Kyoto, tetapi semakin banyak yang melaporkan masalah,” kata Michiyo Nakade, pejabat Asosiasi Perjalanan Sekolah Jepang.

Dia mengatakan overtourism dan kenaikan biaya membuat perencanaan study tour semakin sulit.

Makade mengatakan anak-anak tidak lagi leluasa melihat tempat yang dijadwalkan karena beberapa destinasi sangat padat pengunjung.

“Sangat disayangkan, karena sebagian besar orang tua Jepang pernah ke Kyoto saat study tour masa sekolah. Mereka berharap anak-anak mereka mendapat pengalaman yang sama,” kata dia.

Sebagai alternatif, kini sekolah mulai melirik tujuan lain seperti Nagasaki, Kanazawa di Prefektur Ishikawa, serta wilayah Tohoku di utara Jepang. Di sana, siswa didorong untuk bertemu langsung dengan penyintas gempa dan tsunami 2011 dan melihat bagaimana komunitas setempat bangkit kembali.

Sebuah studi pada 2024 oleh pemerintah Kyoto mencatat kunjungan mencapai 56,06 juta orang, tertinggi kedua setelah rekor 56,84 juta pengunjung pada 2015. Angka itu kemungkinan besar akan pecah pada 2025, karena Organisasi Pariwisata Nasional Jepang (JNTO) melaporkan 3,4 juta turis asing masuk ke Jepang pada Agustus lalu, tertinggi sepanjang sejarah.

Pemerintah Jepang menargetkan 60 juta kunjungan turis asing pada 2030. Tahun ini saja, sudah ada 21,51 juta kunjungan wisatawan asing hanya dalam enam bulan pertama, naik dari 36,9 juta sepanjang 2024.

Namun, lonjakan ini membawa dampak serius. Presiden Spirit of Japan Travel, Masaru Takayama, yang berbasis di Kyoto, harga hotel melonjak dua hingga tiga kali lipat sejak pandemi.

“Kenaikan ini harus dibebankan ke sekolah-sekolah, dan bagi banyak dari mereka, Kyoto jadi terlalu mahal,” ujarnya.

Data Kota Kyoto menunjukkan 750.000 siswa Jepang mengunjungi kota itu pada 2024, turun dari 810.000 pada tahun sebelumnya.

Ulah Turis Asing Bikin Pusing

Selain biaya, perilaku sebagian turis asing juga menjadi sumber masalah. Otoritas harus menurunkan petugas keamanan di distrik geisha Gion setelah para turis memburu para maiko (geisha muda) atau bahkan masuk ke rumah warga. Di kuil Chionin, salah satu pusat aliran Jodo, dua huruf grafiti berukuran 18 cm ditemukan tergores di tiang kayu pada Juni lalu.

Kasus lain, seorang turis asing terekam melakukan pull-up di gerbang torii Kuil Atago, sementara di Tokyo seorang turis mendorong pria lansia Jepang yang memintanya menyerahkan kursi prioritas di kereta.

Kota Kamakura juga mulai jadi titik panas overtourism, terutama di dekat perlintasan kereta api yang ikonik lewat manga dan anime Slam Dunk. Ribuan penggemar berbondong-bondong datang untuk berfoto dengan latar kereta dan laut, tetapi hal itu mengganggu kehidupan warga setempat.

Penduduk melaporkan masalah sampah, kebisingan hingga larut malam, dan kasus turis asing masuk ke properti pribadi meski sudah ada papan larangan dalam berbagai bahasa. Polisi bahkan menerima laporan wisatawan yang masuk ke rumah sakit serta panti jompo untuk menggunakan toilet, sementara ada juga yang nekat buang air besar di jalan.