Suku Baduy memiliki produk tenun yang unik. Polanya tidak begitu rumit, didominasi garis lurus dan kotak-kotak.
Sekali lihat, biasanya orang yang paham tenun akan langsung mengenalinya sebagai hasil kerajinan Baduy. Namun, tenun ini mungkin belum sepopuler tenun lain di Indonesia. Misalnya ulos atau songket.
Tries Yuliany Fransiska pun tertarik untuk dapat mengangkat tenun Baduy lewat usahanya agar dikenal lebih luas. Wanita berdarah Batak itu mengaku memang penyuka kain tenun.
“Berhubung saya tinggal di Banten, walaupun saya orang batak kita punya ulos, ya saya pikir kalau ulos itu udah terkenal. Tenun baduy itu baru terkenal akhir-akhir ini, tapi kebanyakan konsumen tuh nggak ngenalin,” cerita Tries ditemui detikcom di Bazar UMKM Tangerang Raya di BRI Kanwil Jakarta 3, Rabu (23/4/2025).
Pemilik Tries Hands ini menekuni usaha craft sejak 2016. Namun, dia baru serius menekuni craft berbahan tenun Baduy mulai 2020 atau ketika pandemi Covid-19. Saat itu, Tries yang sudah menghasilkan kreasi berbahan katun dan kanvas mulai tergerak mencoba bahan baru.
“Dulu memang pakai kain kanvas dan katun. Tapi ke sini saya pikir kita usaha harus punya ciri khas ya. Karena saya tinggal di Banten, saya ambilnya ciri khas tenun Baduy. Ada rasa tanggung jawab memperkenalkan wastra (wawasan nusantara),” sambungnya.
Daya Tarik Tenun Baduy, Sederhana Namun Filosofis
Meskipun belum sepopuler ulos dan kain tenun khas NTT, tenun Baduy pun harganya tinggi. Tenun ini dikerjakan oleh masyarakat Baduy Luar sebagai sampingan bertani. Satu lembar besar kain tenun biasanya diselesaikan dalam seminggu, sehingga harganya mengikuti tingkat kesulitannya.
Sementara Tries biasanya memproduksi craft dengan harga terjangkau. Ketika mencoba kreasi tenun, dia pun harus bersiasat agar bisa membuat produk bernuansa tenun yang terjangkau bagi target konsumennya.
“Biasanya kalau menengah ke atas full tenun. Untuk middle class, kita pasti harus kombinasi karena harga tenun mahal, ya. Kalau kita kombinasikan, masih etnik cantik tapi harganya masih terjangkau,” tuturnya.
Selain menyasar konsumen dari segi daya beli, Tries juga memikirkan segmentasi usia. Dia ingin agar produk tenunnya tak cuma menarik bagi orang-orang tua, tetapi juga anak-anak muda.
“Bagaimana caranya anak muda juga bisa kenal karena orang mikirnya kalau pakai bahan tenun itu yang pakai orang-orang tua. Makanya saya bikin pouch, bisa kan orang pakai untuk sehari-hari. Kita coba memasukkan budaya supaya bisa dipakai ke produk kekinian,” katanya.
Tries juga punya mimpi agar tenun Baduy bisa dikenal sama luasnya dengan tenun-tenun daerah lain. Dia mencontohkan tenun dari NTT yang kini sudah merambah pasar mancanegara karena ada sentuhan tangan-tangan desainer ternama.
“Desainer-desainer sudah banyak ke sana (NTT) untuk mempelajari tenun dan akhirnya bisa mengembangkan dengan motif yang lain, warna yang berbeda. Sekarang motif-motif tenun daerah timur itu kan naik. Saya harap desainer-desainer pergilah ke Banten, ke suku Baduy, supaya bisa kasih masukan supaya bisa lebih bervariasi dan kekinian,” katanya.
Bila Tries berfokus ke craft, maka Nia Alina berfokus ke fashion. Dia memulai kreasi tenun lebih dulu, yakni pada 2015. Nia pertama kali mengikuti Seba Baduy yang diadakan Dinas Pariwisata Provinsi Banten dan berkenalan dengan perajin tenun Baduy saat itu.
“Pertama itu bikin sepatu wedges dari tenun Baduy, karena saya pernah menang lomba desain wedges di Bandung,” ceritanya kepada detikcom, Senin (28/4/2025).
Menurutnya, daya tarik utama tenun Baduy adalah desainnya yang elegan. Motifnya tidak terlalu padat dan rumit, justru terlihat sederhana. Nia pun berharap semakin banyak pelaku UMKM craft & fashion yang mengaplikasikan tenun Baduy pada produk-produk mereka. Dia sendiri saat ini sedang mengembangkan syal tenun Baduy.
“Dengan demikian tenun Baduy semakin banyak dibeli dan dikenal bahkan sampai di luar negeri. Wirausaha tenun Baduynya juga bisa lebih berkembang,” pungkasnya.
Sementara itu, Plt Kepala Dinas Pariwisata Banten Linda Rihyati Fatimah menyampaikan bahwa tenun Baduy memang menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Banten. Menurut Linda, motif tenun Baduy memiliki ciri khas yang tidak ditemukan pada tenun daerah lain. Filosofi hidup suku Baduy tercermin dalam motif tenun yang sederhana dan harmonis.
“Mereka mencerminkan kearifan lokal dan filosofi hidup. Filosofi masyarakat Baduy itu sangat menjunjung tinggi kesederhanaan dan keharmonisan dengan alam. Motif dan warna tenunnya pun juga memiliki makna spiritual serta identitas budaya yang kuat,” jelas Linda kepada detikcom, Selasa (29/4/2025).
Demi terus meningkatkan daya saing tenun Baduy, Dispar Banten kerap menyelenggarakan pelatihan bagi pelaku usaha tenun untuk meningkatkan kualitas. Lina menyebut Dispar pernah membawa desainer ke sana juga untuk menambahkan sedikit kreativitas tanpa mengubah nilai makna yang sudah dimiliki masyarakat Baduy sehingga tetap terjaga.
“Kami juga mengembangkan media promosi digital seperti membuat media dokumenter, media sosial, marketplace, memperluas jangkauan pemasaran. Mereka dikenalkan digitalisasi semata-mata untuk meningkatkan taraf kebutuhan peningkatan ekonomi kerakyatannya,” ujarnya.
Sedangkan bagi pelaku UMKM craft & fashion, Dispar juga mengimbau mereka untuk turut berpartisipasi memperkenalkan tenun Baduy sebagai kekayaan budaya Banten. Caranya dengan menjadikan tenun Baduy salah satu bahan utama atau kombinasi dalam produk kreasi mereka.
“Sangat kami dukung, bahkan mengimbau. Kami juga selalu berpartisipasi mengenalkan desainer-desainer dari wilayah kami atau pelaku fashion yang sudah dibekali pelatihan, manajemen usaha, digital marketing, itu bersama-sama dengan kita,” tutur Linda.
Binaan Rumah BUMN BRI
Tries termasuk salah satu UMKM anggota ASIPA Tangsel yang menjadi binaan Rumah BUMN BRI Jakarta. Baru sekitar empat bulan dia bergabung, tetapi sudah merasakan cukup banyak manfaat. Mulai dari pelatihan hingga difasilitasi pameran sehingga bisa lebih luas mengenalkan produknya.
“BRI membantu kita untuk membukakan pemasarannya. Kita kalau untuk training juga sudah banyak yang menawarkan, tapi kan dari kita sendiri UMKM tujuan utamanya supaya omzet naik. Jadi Bu Nia ini aktif nyariin bantuin bagaimana caranya anggota dibantu pemasarannya. Ya kita happy banget,” kata Tries.
Selain diberikan wadah pemasaran, member ASIPA Tangsel yang menjadi nasabah BRI juga mendapat penawaran pinjaman. Untuk saat ini, Tries mengaku belum berencana mengambil KUR karena perputaran modalnya masih memadai untuk skala bisnisnya yang kecil. Namun, setidaknya dia sudah punya koneksi jika suatu saat membutuhkan.
“Kerja samanya antara ASIPA dan BRI-nya memang di pemasaran. Tapi kalau dari Ketua ASIPA dan BRI-nya tetap menyampaikan, teman-teman kalau memang butuh silakan ajukan KUR. Kita nggak tahu suatu saat mungkin butuh, karena sudah punya pegangan kita bisa ke BRI,” ujarnya.
Bazar di BRI Kanwil Jakarta 3 ini sendiri merupakan bentuk kontribusi BRI KCP Ciledug untuk semakin memberdayakan UMKM setempat.
Pincapem BRI KCP Ciledug Dafi Qisthi yang baru pindah dari Kalimantan Barat pada April 2024 awalnya membidik asosiasi pelaku industri kreatif yang belum digarap di wilayah Ciledug dan ASIPA cukup potensial karena memiliki cukup banyak anggota yang aktif.
ASIPA menyampaikan kerja sama dalam bentuk pelatihan sudah sering dilakukan, maka mereka butuh kerja sama dalam bentuk lain. Sehingga BRI KCP Ciledug menawarkan kerja sama berupa pameran atau bazar. pengusaha