Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai pembayaran royalti dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memiliki banyak kelemahan. Dia mengatakan UU itu perlu direvisi supaya lebih jelas.
“Undang-undang ini memang mengandung banyak kelemahan yang harus disempurnakan,” kata Ketua Umum PHRI Haryadi B. Sukamdani dikutip dari antara, Jumat (15/8/2025).
Dia mengatakan bahwa ketentuan tentang pembayaran royalti, khususnya dalam pemutaran lagu dan musik oleh pengelola hotel dan restoran, harus dijabarkan secara terperinci dan jelas.
Kedudukan Hukum LMKN Harus Jelas
Ramdani juga meminta agar kedudukan hukum Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam menagih royalti kepada pihak-pihak yang memutar lagu atau musik harus diperjelas.
“Jadi legal standing-nya itu bagaimana, itu yang jadi masalah. Anda (LMKN) menagih semua orang, ya tidak bisa seperti itu, karena banyak juga yang merasa tidak memiliki hubungan dengan LMKN,” kata dia.
Ramdani meminta agar alur administrasi pembayaran royalti, jumlah royalti yang perlu dibayarkan, siapa saja yang perlu membayar royalti, dan kepada siapa royalti dibayarkan dibuat lebih jelas dan transparan.
Haryadi mengatakan bahwa perlu diperjelas pula ketentuan mengenai lagu-lagu maupun karya musik yang seperti apa yang pemutarannya membutuhkan lisensi dan pembayaran royalti.
Dia mencontohkan lagu “Indonesia Raya” dan lagu-lagu daerah yang sudah masuk domain publik semestinya bebas digunakan oleh siapa saja tanpa harus membayar royalti.
“Kalau itu nanti terjadi digitalisasi, sangat jelas, karena nanti akan dipilih yang public domain dan yang tidak masuk dalam list (pembayaran royalti),” kata dia.
Minta Negara Hadir
Haryadi mengungkapkan bahwa para pengelola restoran dan kafe mengeluh karena harus membayar Rp 120 ribu per tahun per kursi untuk memutar lagu dan karya musik di tempat usaha mereka. Dia menekankan pentingnya kehadiran negara dalam penanganan dan pengelolaan royalti.
“Masalah ini semuanya terjadi karena dilepas saja ke LMKN, itu tidak bisa,” kata dia.
“Jadi kehadiran negara itu harus ada, apalagi ini zamannya digitalisasi, semua urusan regulasi itu harus tripartit antara pengguna lagu, pencipta lagu, dan negara sebagai regulator,” ia menjelaskan.
Haryadi menyampaikan perlunya kesepakatan antara ketiga pihak berkenaan dengan pembayaran royalti, termasuk kategori lagu dan musik yang pemutarannya membutuhkan lisensi dan pembayaran royalti serta besaran royalti yang harus dibayarkan.
PHRI menekankan pentingnya pelibatan para pemangku kepentingan terkait, termasuk musisi, dalam penyusunan dan pembahasan undang-undang tentang hak cipta maupun peraturan tentang royalti musik.Haryadi mengatakan bahwa ketentuan mengenai sanksi berkenaan dengan pembayaran royalti juga perlu direvisi.
Menurut dia, sanksi dalam pelanggaran peraturan tentang royalti seharusnya berupa sanksi hukum perdata, bukan sanksi hukum pidana.
“LMKN diberikan kewenangan dan itu menjadi sangat multitafsir, lalu diberikan senjata namanya pidana, yang dipakai untuk memidana semua pihak, itu akan jadi masalah,” kata dia.
Haryadi juga mengatakan LMKN seharusnya membangun sistem informasi lagu dan musik mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.