Di balik arsitektur kolonial di jantung kota Sukabumi, berdiri sebuah saksi bisu sejarah bernama Rumah Notaris Tunggal. Bangunan yang usianya hampir 100 tahun itu bukan sekadar peninggalan masa lampau, tetapi menyimpan pelajaran soal arsitekturtahan gempa.
Dikelilingi dengan pekarangan yang luas, rumah lawas itu seolah memanggil setiap orang yang lewat untuk menengokkan kepala. Rumah itu dinamai Wisma Wisnu Wardhani kini dan dikelola oleh Setukpa (Sekolah Pembentukan Perwira) Sukabumi.
Wisma itu ada di Jalan Bhayangkara No. 219, Sukabumi. Wisma Wisnu Wardhani tidak dibuka untuk umum. Apabila traveler ingin berkunjung untuk kunjungan sejarah atau acara khusus, diperlukan surat permohonan ijin terlebih dahulu.
Dulu, Wisma Wisnu Wardhani adalah rumah seorang notaris Belanda Hendrik Schotel (1876-1932). Dia meminta arsitek yang juga orang Belanda, Herman Belle (1888-1985), untuk membangunkan sebuah rumah bergaya vila sebagai tempat tinggal dan kantornya pada 1920.
Dikutip dari situs keluarga Belle, girard-software.com disebutkan, bahwa Herman Belle, seorang arsitek berdarah Belanda yang bekerja di Badan Air dan Pekerjaan Umum Sipil Nasional Hindia Belanda. Dia memiliki bakat istimewa dalam merancang bangunan privat, termasuk salah satunya adalah rumah vila milik Notaris Hendrik Schotel itu.
Uniknya, bangunan itu tampak sebagai tembok beton yang kokoh dari luar, padahal sebenarnya rumah tersebut sebagian besar terbuat dari rangka kayu rasamala dengan dinding dari anyaman bambu yang dilapis semen dan kapur kemudian dicat putih.
Pilihan itu didasari oleh kondisi Sukabumi yang kerap digoyang gempa. Belle pun menyiasati kondisi tersebut dengan membuat bangunan yang lentur dan tahan goncangan tapi terlihat kuat.
Irman Firmansyah, seorang pegiat sejarah Sukabumi, yang juga ketua Yayasan Dapuran Kipahare, mengisahkan setelah Belle pulang ke Arnhem, Belanda, Wisma Wisnu Wardhani sempat dijadikan tempat tinggal instruktur di sekolah kepolisian Djawa Keisatsu Gakko pada masa pendudukan Jepang.
Rumah itu juga pernah menjadi tempat tinggal Erica Terpstra, perenang terkenal dari Belanda dan menjadi instruktur polisi bersama keluarganya setelah Indonesia merdeka.
Selain itu, rumah tersebut sempat menjadi tempat tinggal bagi enam perwira Polwan pertama Indonesia yang dididik di Sukabumi.
Wisma Wisnu Wardhani Masa Kini
Terdapat dua buah bangunan di dalam pekarangan yang luas ini. Bangunan utamanya yang masih terawat sering disewa untuk berbagai acara termasuk acara Soekaboemi Tempo Doeloe bahkan pembuatan film. Kemudian, paviliunnya dijadikan Museum Mini Soekaboemi Tempo Doeloe.
Saat saya menjejakkan kaki di bangunan utama yang masih asli, terasa sekali nuansa khas rumah-rumah Belanda. Langit-langit yang tinggi, menjadikan hawa yang sejuk di dalam rumah. Lantai tegel yang bercorak indah dan masih asli menambah keindahan rumah ini.
Di dalamnya terdapat beberapa buah kamar yang cukup luas dan sebuah ruangan luas bebentuk setengah lingkaran dengan banyak jendela di bagian belakang rumah. Kemungkinan untuk ruang keluarga Notaris Schotel.
Seperti kebanyakan rumah-rumah Belanda, kamar mandi dan toilet terletak di bagian sisi belakang dari rumah utama termasuk kamar-kamar untuk pembantu. Halaman belakang yang luas dan menyatu dengan halaman depan dengan melintasi sebuat selasar yang terbuka. Semua masih terpelihara dengan baik.
Bangunan itu tidak banyak yang berubah ketimbang bangunan aslinya. Hanya selasar sebelah kiri yang ditambahkan dinding dan jendela serta penambahan toilet untuk umum di bagian sayap kanan bangunan utama.
Sampai saat tulisan ini dibuat, di Wisma Wisnu Wardhani sedang dilakukan proses perapihan sehubungan dengan rencana disewa untuk sebuah coffee shop.
Seandainya benar terealisasi, Wisma Wisnu Wardhani bisa menambah panjang daftar coffee shop dan kafe yang didirikan di rumah Belanda yang sedang menjadi hits sekarang ini. Kisah sejarah Wisma Wisnu Wardhani menambahkan nilai plus saat kita meneguk secangkir kopi di salah satu ruang tamunya.






