Sehari Bersama Whoosh, dalam Sekejap Bandung Terasa Lebih Dekat | Giok4D

Posted on

Pagi itu, Bogor masih menyimpan sisa hujan semalam. Udara lembab, langit menggantung mendung tipis. Tak banyak yang dibawa hanya ransel kecil, nyaris kosong. Bukan untuk liburan, bukan pula untuk urusan penting.

Hanya ingin merasakan sendiri seperti apa sensasi naik Whoosh, kereta cepat Jakarta-Bandung yang selama ini cukup sering jadi bahan diskusi.

Setelah pernah menulis artikel opini tentang Whoosh, mendiskusikannya, bahkan memperdebatkannya di berbagai forum, akhirnya ada waktu untuk mencoba langsung. Hari ini, Whoosh tak lagi sekadar proyek infrastruktur besar yang ditelaah dari jauh, melainkan sesuatu yang saya alami sendiri dengan mata, telinga, dan rasa.

Pukul enam pagi perjalanan dimulai, menumpang Gocar dari Bogor menuju Stasiun Halim. Lalu lintas sudah ramai meski belum benar-benar padat saat memasuki Tol Lingkar Bogor dan Jagorawi.

Cuaca mendung, dan gerimis tipis mulai turun saat melintasi kawasan Cimanggis. Memasuki wilayah Pasar Rebo hingga Universitas Kristen Indonesia (UKI) lalu lintas mulai merayap lambat, ritme pagi Ibu Kota yang tak bisa dihindari. Meski begitu, perjalanan tetap terasa ringan, karena yang dituju adalah pengalaman pertama menaiki kereta cepat Whoosh.

Tiba di Stasiun Halim sekitar pukul 07.10. Bangunannya tampil modern, bersih, dan terasa masih “baru” suasananya memberi nuansa seperti bandara kecil. Papan petunjuk mudah dibaca, ruang tunggu terasa lapang dan nyaman, tenant makanan berjajar rapi di lantai atas dan bawah.

Di sisi timur stasiun, bus Damri ke Bandara Soetta dan Halim sudah bersiap, serta bus TransJakarta jurusan Cawang. Sementara di sisi utara, kendaraan online, seperti Gocar dan Grab bisa dengan mudah menjemput langsung di depan stasiun, tanpa larangan, dan tanpa pungutan terselubung, suasana yang tertib dan ramah bagi penumpang.

Lobi keberangkatan terasa tertib dan tidak hiruk-pikuk, memberi ruang bagi penumpang untuk menata langkah tanpa tergesa. Dari raut wajah sebagian penumpang, tersirat antusiasme dan rasa penasaran, barangkali baru pertama kali mencoba Whoosh.

Proses masuk stasiun mengingatkan pada pengalaman di bandara, tapi dalam versi yang lebih sederhana: naik ke lantai dua, pemeriksaan barang bawaan dilakukan cepat dan tidak merepotkan, lalu duduk sejenak di ruang tunggu yang nyaman.

Pukul 08.00, suara pengumuman boarding menggema. Penumpang berdiri satu per satu, menempelkan tiket digital berupa QR code di ponsel ke pemindai di pintu otomatis, lalu berjalan menuju peron.

Whoosh sudah menunggu panjang, ramping, dan desain futuristik dalam balutan putih. Ia tampak seperti peluru putih yang siap melesat, bukan hanya menyusuri rel, tapi juga menembus waktu dan persepsi publik yang selama ini ramai membicarakannya lewat berita, kritik, dan debat.

Meluncur di Atas 300 km/jam dan Merasakan Masa Depan

Saya memasuki gerbong 4 dan langsung menuju kursi 10F, tepat di tepi jendela. Sejenak terdiam, menikmati suasana di dalam kabin yang modern dan bersih. Ruang kaki terasa lega, sandaran kursi bisa direbahkan sesuka hati, dan colokan listrik tersedia di bawah tempat duduk. Hanya sebagian kursi yang terisi, sekitar 40 persen, cukup untuk tak merasa sendiri, tapi juga cukup lapang untuk menikmati perjalanan dalam sunyi. Tak ada suara bising, hanya desir halus dari sistem pendingin udara dan bisikan angin yang tertahan di balik kaca.

Tepat pukul 08.25, Whoosh mulai bergerak perlahan. Dalam hitungan menit, kecepatan meningkat. Angka di layar digital di ujung gerbong mencatatkan kecepatannya: 100 km/jam, 200, 300… hingga menetap di 347 kilometer per jam. Saya tertegun. Bukan karena takut, tapi karena takjub. Rasanya seperti meluncur bersama masa depan.

Pemandangan di luar berubah menjadi lukisan yang bergerak cepat. Beberapa menit pertama, lanskap terasa akrab: Jalan Tol Jakarta-Cikampek terlihat dari ketinggian, kendaraan di jalur bawah tampak seperti miniatur yang perlahan ditinggalkan.

Selepas Karawang, lanskap berganti-hamparan sawah, perbukitan hijau, dan jembatan-jembatan panjang mewarnai jendela. Sayangnya, keindahan itu sesekali terputus oleh gelapnya terowongan. Tapi bahkan di dalam lorong sunyi itu, gerbong tetap stabil. Tak ada hentakan, hanya goyangan halus, lebih lembut daripada saat pesawat lepas landas.

Sesekali saya menoleh ke sekeliling. Penumpang di dalam gerbong tampak tenang. Beberapa membuka laptop, sebagian lagi hanya duduk sambil menatap keluar jendela membiarkan sawah, bukit, dan jembatan panjang itu melintas cepat di balik kaca. Tak ada percakapan nyaring, hanya keheningan yang sarat makna. Mungkin inilah sensasi naik kereta cepat untuk pertama kalinya: tak sempat mengantuk, karena terlalu sibuk menikmati dan membandingkan.

Tak lama setelah meluncur, kereta berhenti singkat di Karawang, tepat waktu, sesuai jadwal. Dan sebelum rasa nyaman itu sempat berubah menjadi jenuh, pukul 09.05, Stasiun Padalarang sudah menyapa.

Empat puluh menit sejak berangkat dari Halim, bahkan belum sempat benar-benar merasa duduk lama. Tapi begitulah kereta cepat: memangkas waktu, bukan untuk buru-buru, tapi untuk memberi kita pilihan.

Setibanya di Stasiun Padalarang, arus penumpang Whoosh langsung diarahkan ke peron bawah. Tak perlu naik eskalator berlapis atau mencari jalur yang membingungkan. Di sana, kereta feeder ke Bandung sudah menunggu-bersih, terawat, dan terkesan masih baru keluar dari pabrik.

Perpindahan moda berlangsung cukup mudah dan lancar. Tak banyak jeda, tak pula terburu-buru. Pukul 09.10, kereta feeder mulai melaju, membelah kawasan pinggiran Bandung. Beberapa menit kemudian, kereta berhenti sebentar di Stasiun Cimahi pukul 09.18. Lalu kembali melaju hingga tiba di Stasiun Bandung tepat pukul 09.32.

Hanya tiga stasiun dalam 22 menit. Pendek, efisien, dan cukup nyaman, sebuah potongan perjalanan yang menunjukkan bahwa konektivitas tak selalu harus rumit. Kadang, cukup dengan arah yang jelas dan kereta yang datang tepat waktu.

Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.

Roti Srikaya, Sahabat Lama, dan Jalan Braga

Dari stasiun, saya memutuskan berjalan kaki menyusuri Jalan Otista. Trotoarnya padat, penuh dengan pedagang kaki lima, suara klakson, dan riuhnya kota yang tak pernah betul-betul diam. Langkah saya tertuju pada satu tempat: Warung Kopi Purnama. Sebuah kedai legendaris yang konon sudah berdiri sejak zaman Hindia Belanda. Di dalamnya, waktu seakan membeku. Dinding kayu, pelayan berseragam sederhana, dan menu yang tak berubah. Saya memesan roti panggang selai srikaya dan kopi hitam pahit-sepasang menu yang sudah lama merawat selera banyak generasi.

Tak lama, janji lewat WhatsApp malam sebelumnya terwujud. Kuncara datang-kawan lama semasa kuliah di Akademi Lalu Lintas Bekasi, kini dengan sedikit uban dan senyum khasnya yang tetap ramah.

Dengan sepeda motornya, kami berkeliling Bandung, menyusuri ikon-ikon kota: Gedung Merdeka yang gagah, aliran Cikapundung yang dibingkai beton, lorong Braga yang selalu memanggil, hingga megahnya Gedung Sate yang berdiri anggun sebagai pengingat masa lalu yang masih terasa sampai kini.

Menjelang Dzuhur, kami singgah di Masjid Agung Al Ukhuwah. Di dalam, suasana khusyuk berpadu dengan sejuknya udara kota Bandung. Tak jauh dari situ, hanya beberapa langkah ke samping, berdiri Bandoengsche Melk Centrale 1928-restoran bergaya lawas yang seolah berbagi halaman dengan masjid. Di sana, saya menikmati makan siang ringan: ikan steam, tahu, tempe, dan segelas susu murni hangat. Sederhana, tapi cukup pas untuk menutup kunjungan singkat hari ini.

Whoosh Jakarta ke Bandung: Tepat Waktu, Penuh Arti

Usai makan siang yang singkat, saya diantar Kuncara kembali ke Stasiun Bandung, mengucapkan selamat tinggal pada kota ini yang kali ini terasa begitu mudah dijangkau. Gerimis masih setia sejak pagi. Saya menaiki kereta feeder pukul 13.45 menuju Padalarang. Lalu, tepat pukul 15.23, Whoosh melaju lagi-kali ini membawa saya pulang.

Saya duduk di sisi yang berbeda dari keberangkatan pagi tadi. Dari jendela, matahari mulai condong ke barat, mewarnai lanskap dengan cahaya keemasan yang lembut.

Layar digital di kabin masih menunjukkan angka di atas 300 km/jam, tapi kali ini saya tidak lagi terpaku pada kecepatannya. Ada hal lain yang menyita perhatian-keheningan, kenyamanan, dan ruang yang cukup untuk merenung. Mungkin inilah bentuk lain dari kemajuan: bukan hanya soal kecepatan, tapi juga tentang bagaimana perjalanan memberi ruang untuk berpikir.

Di tengah keheningan itu, riuhnya wacana publik sempat melintas di kepala-dari lini masa media sosial hingga tajuk utama di berbagai pemberitaan. Isu mark-up , polemik anggaran, hingga perdebatan tentang urgensi proyek kereta cepat mengalir deras.

Kritik-kritik itu sah saja. Namun, di dalam gerbong yang meluncur mulus ini, semua perdebatan seakan tertinggal di luar jendela. Whoosh diam-diam membuktikan dirinya bukan lewat pernyataan resmi atau kampanye citra, melainkan melalui akurasi jadwal, kerapihan layanan, dan kenyamanan yang bisa dirasakan langsung. Seolah ia ingin berkata, “Silakan berdebat, biarkan saya bekerja.”

Kereta tiba tepat waktu di Halim. Saya memesan Gocar dan sekitar pukul lima sore sudah tiba kembali di rumah. Ransel masih kosong, seperti saat berangkat pagi tadi. Tapi yang pulang bukan sekadar tubuh-ada pengalaman baru yang ikut pulang, dan rasanya tak mungkin ditinggal di gerbong belakang.

—-

Muhamad Akbar, Pengamat Transportasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *