Repan, remaja 16 tahun dari Baduy Dalam, disorot setelah ditolak oleh rumah sakit di Jakarta Pusat. Tak cuma Repan, masyarakat suku Anak Dalam yang mendiami wilayah Jambi dan sebagian Sumatera Selatan juga memiliki kesulitan serupa.
Repan gagal mendapatkan perawatan di rumah sakit kendati dalam kondisi terluka. Dia dibegal pada 26 Oktober dini hari. Penolakan itu didapatkan Repan karena tidak memiliki KTP.
Masyarakat Baduy Dalam dilarang memiliki KTP, KK, atau BPJS. Provinsi Banten telah mengadaptasi kondisi itu untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat Baduy Dalam, termasuk layanan kesehatan di rumah sakit atau Puskesmas.
Sementara itu, masyarakat suku Anak Dalam tidak dilarang memiliki KTP, KK, atau BPJS, tetapi mereka kesulitan mendapatkan beragam dokumen tersebut.
Pengendum Tampung, salah seorang warga suku Anak Dalam, yang aktif terlibat dalam pemberdayaan suku, mengatakan program pembuatan KTP dan KK untuk Suku Anak Dalam mulai dirancang sejak 2011. Kemudian, berlanjut dengan pengenalan BPJS.
“Sejak dimulai sekitar empat tahun lalu, bahkan jumlah warga pemilik BPJS belum sampai 20 orang. Warga tidak menolak BPJS sebenarnya,” kata Pengendum dikutip dari BBC Indonesia, Senin (9/11).
Pengendum mengatakan mayoritas suku Anak Dalam kini hidup dengan bertani dan menetap di gubuk di tengah hutan, hanya sebagian kecil yang masih hidup berpindah. Mereka yang hidup nomaden tinggal di tengah belantara hutan Bukit Dua Belas.
Dalam catatannya, pada 2024, jumlah suku Anak Dalam mencapai 5.000 jiwa. Pengendum mengatakan tak cuma sulit mendapatkan BPJS, masyarakat suku Anak Dalam juga masih kesulitan mengakses fasilitas kesehatan.
Dari dalam hutan tempat mereka tinggal, suku Anak Dalam di daerah Meranti, Jambi, harus berjalan sekitar 12 kilometer untuk mencapai puskemas terdekat. Puskesmas itu berlokasi di perkampungan transmigran.
“Itu hanya untuk berobat bidan atau mantri,” kata Pengendum.
Jika ingin mengakses dokter, mereka harus menempuh tambahan 12 kilometer untuk mencapai RSUD Meranti.
RSUD Meranti menyediakan ruang perawatan khusus bagi suu Anak Dalam, tapi dalam kondisi tidak terawat karena jarang dipakai.
Pengendum mengatakan bahwa ruangan khusus itu diberikan pengelola rumah sakit lantaran masyarakat lain tidak mau menjalani perawatan di ruang yang sama dengan suku Anak Dalam.
“Mereka [pengelola RSUD] selalu bilang, masyarakat umum enggak mau satu ruangan dengan suku anak dalam, sehingga inisiatif buatkan satu ruangan khusus,” kata dia.
“Tapi itu enggak terawat. Di samping ruangan bahwa tempat orang membuang sampah,” dia menambahkan.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menepis ada diskriminasi akan akses layanan kesehatan bagi masyarakat adat.
“Kesehatan itu hak semua masyarakat di Indonesia, dengan atau tanpa NIK,” kata Dante pada 6 November 2025.
Dia mengaku juga telah mendengar kasus Repan yang disebut sempat ditolak salah satu rumah sakit di Jakarta akibat administrasi.
Dante menyebut akan memperbaiki hal itu.
“Nanti kami perbaiki. Kami akan telusuri supaya mendapatkan perawatan yang benar,” kata dia.
