Tak Kalah dari Singapura, tapi Kenapa Hotel di RI Minim Sertifikasi Hijau Tertinggi?

Posted on

Di saat puluhan hotel di Singapura telah mengantongi sertifikasi keberlanjutan global, Indonesia baru menapaki jalan awal. Kenapa begitu sulit mendapatkan sertifikat hotel hijau level A itu?

Singapura selama ini dikenal sebagai salah satu negara yang sangat fokus terhadap pembangunan berkelanjutan, termasuk dalam sektor pariwisata. Lewat program green hotel, pemerintah negeri singa itu menerapkan berbagai standar keberlanjutan, seperti efisiensi energi dan air, pengelolaan limbah yang bertanggung jawab, hingga desain bangunan yang ramah lingkungan.

Tak hanya itu, sejumlah hotel di sana juga sudah mendapatkan sertifikasi dari Global Sustainable Tourism Council (GSTC), sebuah standar internasional tertinggi dalam pariwisata berkelanjutan. Sertifikasi ini dikeluarkan oleh Control Union, badan sertifikasi yang telah terakreditasi secara global. Dalam skema GSTC sendiri, terdapat tiga cakupan utama: akomodasi, tour operator, dan destinasi.

Berbeda dengan Singapura, Indonesia masih dalam tahap awal. Hingga saat ini, baru dua hotel yang berhasil meraih sertifikasi GSTC, yaitu The Apurva Kempinski Bali pada tahun 2024, dan Hard Rock Hotel Bali di awal 2025.

Sementara itu, beberapa grup hotel lain disebut sedang dalam proses audit. Tapi secara umum, angka itu masih jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga.

Manager of Business Development Control Union Arif Pamungkas mengatakan bahwa secara kualitas hotel-hotel Indonesia sebenarnya tidak kalah. Dalam paparannya di H3 Summit 2025 yang digelar di Gedung Sapta Pesona, Kamis (25/9/2025), Arif menekankan bahwa banyak hotel di Indonesia sudah menjalankan praktik ramah lingkungan.

“Hotel-hotel di Indonesia itu sebetulnya enggak kalah dibandingkan dengan hotel-hotel yang sudah certified di Singapura. Bahkan kalau dibilang, mereka sudah jalan eco action-nya,” kata Arif.

Contohnya, lanjut dia, sudah banyak hotel yang meninggalkan botol plastik sekali pakai dan beralih ke refillable water bottle. Praktik seperti ini sebenarnya sudah menjadi bagian dari prinsip-prinsip keberlanjutan, hanya saja belum terdokumentasi secara sistematis untuk memenuhi standar sertifikasi internasional.

Sertifikasi Masih Dianggap Beban?

Lalu kenapa hotel-hotel di Indonesia masih sedikit yang mengajukan sertifikasi? Arif mengatakan salah satu tantangannya adalah pemahaman dan komitmen jangka panjang. Banyak pelaku industri perhotelan yang belum melihat sertifikasi GSTC sebagai investasi strategis, melainkan beban tambahan dalam operasional.

Padahal, sertifikasi ini bukan hanya soal “label”, tapi bentuk pengakuan global atas komitmen hotel terhadap lingkungan, efisiensi sumber daya, hingga kepedulian sosial.

Indonesia sebagai salah satu destinasi wisata utama dunia sebenarnya punya potensi besar untuk mendorong praktik pariwisata berkelanjutan. Dengan dukungan regulasi, insentif, dan edukasi, diharapkan lebih banyak hotel lokal yang berani menempuh jalur sertifikasi.

“Hotel kita bisa bersaing, enggak cuma di Asia, tapi juga di level global. Tinggal dorongannya saja,” ujar Arif.

Secara persentase, perhotelan Indonesia masih sangat sedikit yang lolos sertifikasi keberlanjutan tertinggi ini. Namun, Arif mengatakan hampir secara garis besar perhotelan di Indonesia telah melakukan eco action.

“Itu 80% hotel di Indonesia yang hotel berbintang sebetulnya sudah menjalankan eee eco-friendly action-nya gitu. Seperti enggak pakai plastik botol botol lagi, enggak langsung tiap hari kamar dibersihin. Mungkin untuk sertifikasi selain GSTC mereka suda ada, tapi untuk memenuhi kriteria GSTC masih butuh waktu lagi,” tambahnya.

Salah satu tantangan bagi perhotelan Indonesia mendapatkan sertifikasi GSTC adalah regulasi. Karena setiap managemen hotel punya kebijakan dan cara masing-asing dalam menjalankan bisnis.

“Sebetulnya tantangan paling sulit adalah di regulasinya sih. Karena regulasi dan legal identity-nya dari mereka. Karena banyak hotel sebetulnya kan skemanya mereka punya ownership yang punya tanah, yang punya bangunan gitu.
Jadi kadang yang sering ditemui oleh auditor adalah legal dokumen dan segala macamnya,”

“Tapi secara sustainable practice itu memang itu udah jalan. Seperti energy saving, food waste mereka sudah handle dengan baik, Juga banyak yang memasang solar panel. Jadi sustainability action-nya mereka sudah jalan dan memang permasalahannya adalah di legal di rumah itu sendiri. Misalnya AMDAL-nya yang bermasalah dan segala macamnya,” papar Arif.

Arif menyebut bahwa untuk mendukung pariwisata berkelanjutan, peran dan dukungan pemerintah juga sangat penting.

“Pemerintah kita harap bikin regulasinya juga yang membantu si properti itu sendiri. Misalnya kalau mereka udah sertifikasi, diberikan semacam incentive tax atau apa. Contohnya di Jepang ada namanya skema Japan Feed in Tariff untuk sustainable biomass. Jadi perusahaan-perusahaan yang pakai power plant dengan biomassa mereka dapat insentif,” kata Arif.

“Kebijakan semacam itu akan membantu para hotel owner dan segala macamnya untuk berinvestasi di sustainability,” ujar dia.

Walau pemerintah punya road map sendiri, Arif berharap road map tersebut tetap bisa align dengan stakeholder dan industri.

“Jadi, kita harap komunikasi ini antara pemerintah sama industri itu jalan gitu. Jadi enggak bisa pemerintah punya jalan sendiri, terus sudah stakeholder juga jalan sendiri. Kita harap bisa bersinergi lah,” kata dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *