Keberlangsungan hidup harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) di Taman Nasional Gunung Leuser ternyata tidak cukup hanya ditopang oleh luas hutan yang tersisa. Mangsa menjadi kunci utama yang menentukan apakah predator puncak ini bisa terus bertahan di alam liar.
Kondisi itu terungkap dalam penelitian terbaru yang dimuat di jurnal Nature Conservation pada 1 Juli 2025. Peneliti Hadi Saputra menyatakan harimau sumatra adalah karnivora yang sangat bergantung pada ketersediaan mangsa di habitatnya.
“Tanpa mangsa yang cukup, habitat sebaik apa pun tidak akan mampu menopang keberadaannya,” tulis Hadi dalam penelitiannya berjudul Distribusi Harimau Sumatra di Taman Nasional Gunung Leuser.
Hasil analisis menunjukkan wilayah yang paling sering dihuni harimau adalah area dengan keberadaan mangsa utama, seperti rusa (Rusa unicolor), babi hutan (Sus scrofa), dan kancil (Tragulus sp.). Bahkan, peta penelitian memperlihatkan tumpang tindih hingga 40,3 persen antara habitat yang cocok bagi harimau dan wilayah dengan ketersediaan mangsa.
Angka itu bukan sekadar statistik. Hadi menyatakan bahwa data tersebut menunjukkan satu pesan jelas, yakni tanpa populasi mangsa yang sehat, harimau tidak akan bertahan lama.
“Kehadiran mangsa utama menjadi penentu paling kuat dalam pemilihan habitat harimau Sumatra,” ujar dia.
Temuan itu sekaligus mematahkan anggapan bahwa perlindungan harimau cukup dilakukan dengan menjaga hutannya saja. Mangsa dan hutan ternyata harus berjalan beriringan.
Selain faktor mangsa, kondisi tutupan lahan juga berperan penting. Harimau sumatra lebih sering ditemukan di hutan primer dan hutan sekunder yang masih baik, serta cenderung menjauhi kawasan yang terfragmentasi atau dekat dengan permukiman manusia.
Gunung Leuser memiliki luas sekitar 830 ribu hektare atau sekitar dua persen dari total luas Pulau Sumatra. Meski terlihat kecil di peta, kawasan itu memiliki peran besar sebagai habitat penting bagi harimau sumatra dan berbagai satwa lain yang menopang rantai makanan.
Untuk membaca pola sebaran tersebut, peneliti menggunakan dua metode pemodelan modern, yakni Random Forest dan Maximum Entropy (MaxEnt). Kedua pendekatan ini menggabungkan data lingkungan, tutupan lahan, serta catatan keberadaan harimau dan mangsanya.
Menariknya, kendati memakai algoritma yang berbeda, hasilnya relatif serupa. Wilayah dengan mangsa melimpah dan tutupan hutan yang baik selalu muncul sebagai habitat paling ideal bagi harimau.
“Kedua algoritma memperlihatkan bahwa mangsa dan hutan adalah kombinasi kunci yang meningkatkan peluang kehadiran harimau Sumatra,” kata Hadi.
Konservasi Tak Bisa Setengah-setengah
Temuan ini membawa pesan penting bagi upaya konservasi. Melindungi harimau Sumatra tidak cukup hanya dengan patroli anti perburuan atau menetapkan kawasan lindung. Populasi mangsa juga harus dipulihkan dan dijaga.
Ketika mangsa berkurang, harimau terdorong keluar hutan dan masuk ke wilayah manusia. Di titik inilah konflik manusia dan satwa liar kerap terjadi.
“Pemulihan populasi mangsa adalah langkah paling mendasar dalam menjaga keberlangsungan harimau Sumatra,” ujar Hadi.
Nah traveler, menjaga Gunung Leuser berarti tidak cukup hanya melindungi harimau sumatra, tetapi juga memastikan satwa mangsanya dan habitatnya tetap lestari agar ekosistem terus berjalan.






