Tokoh Adat Suku Sasak Bicara soal Budaya Pernikahan Anak di Lombok

Posted on

Kasus pernikahan anak mencuat di Lombok. Tokoh adat suku Sasak menyebut pernikahan dini itu bukan bagian dari budaya masyarakat Sasak modern.

Pengerakse Agung Majelis Adat Sasak (MAS), Lalu Sajim Sastrawan, angkat bicara terkait viralnya pernikahan anak di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menuai sorotan publik.

Pernikahan dini tersebut melibatkan SMY (14) siswi SMP dan SR (17) siswa SMK. Mereka diketahui telah menjalani prosesi nyongkolan, tradisi adat pernikahan suku Sasak.

Sajim menegaskan bahwa praktik merariq kodek atau pernikahan dini sekarang sudah hampir punah. Budaya itu bukan lagi bagian dari budaya masyarakat Sasak modern. Ia menyebut, masyarakat Sasak telah mengalami perubahan pola pikir yang dipengaruhi oleh regulasi pemerintah, termasuk Undang-Undang Perkawinan.

“Kita menuju masyarakat Sasak yang modern, tentu untuk menuju ke sana ada perubahan-perubahan dan penyesuaian adat istiadat,” kata Sajim, Selasa (27/5/2025).

Menurut dia, adanya keterlibatan pemerintah dalam mengatur perilaku sosial masyarakat, seperti dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka akan merubah pola pikir masyarakat suku Sasak.

“Setelah itu, ada pembatasan-pembatasan di dalam perkawinan dan perceraian itu. Jadi negara itu ikut campur di dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan masyarakat,” imbuh Sajim.

Sajim menyebut saat ini hampir seluruh daerah di Indonesia sudah memiliki peraturan daerah (perda) yang mengatur pernikahan dini. Hal ini juga merupakan salah satu langkah pemerintah dalam membentuk kualitas sumber daya manusia (SDM) jauh lebih baik.

“Sehingga dengan demikian, ada teknis dan cara-cara untuk mengatur perkawinan itu,” tegasnya.

Sajim menjelaskan bahwa tradisi lama seperti kawin gantung atau kawin todong dulu dilakukan dengan kesepakatan keluarga, tetapi tetap menunda kehidupan rumah tangga hingga usia cukup.

“Bagi mereka orang-orang tua yang sudah melihat anak-anak sudah remaja tetapi dianggap masih belum cukup umur untuk mengarungi bahtera rumah tangga, maka orang tua memelihara anak-anak masing-masing. Sampai dengan mereka menganggap anaknya sudah pantas untuk membangun rumah tangga,” bebernya.

Selain itu, masyarakat Sasak juga punya syarat minimal bagi perempuan, seperti kemampuan menanam padi (nowong), mencuci (mopok), memasak (meriap), hingga menenun (nyesek). Menurutnya, pernikahan dini seperti SMY dan SR tergolong insiden atau kasus kasuistik, bukan praktik umum di masyarakat Sasak saat ini.

“Itu ukuran dulu, sehingga dalam konteks itu, kalau ada persoalan semacam kejadian itu, ini kan tidak semua. Ini kan kasus, artinya bukan begini caranya orang Sasak itu menikah,” katanya.

Proses Pendekatan Adat Suku Sasak Sebelum Pernikahan

Sajim menjelaskan bahwa perilaku sosial masyarakat Sasak modern telah banyak menyimpang dari nilai-nilai adat yang dulu dijunjung tinggi.

Ia menyoroti bagaimana dalam tradisi masyarakat Lombok, perempuan biasanya menjalani proses perkenalan atau penjajakan pernikahan melalui kunjungan laki-laki ke rumah yang dikenal dengan istilah midang (ngapel).

Midang ini juga siapa saja yang boleh datang. Tapi anak gadis ini pasti ditunggu oleh ibunya atau tidak neneknya. Kira-kira dengan jarak 10 meter. Nanti kalau ada lelaki lain yang mau datang lagi, itu akan diberikan kode dengan ngenden sama yang jaga itu. Kemudian si gadis ini akan menyodorkan tempat rokok atau penginang pada laki-laki ini,” ujar Sajim.

Dulu, meskipun terdapat persaingan antara laki-laki dalam memperebutkan hati seorang gadis, hal tersebut tidak memicu konflik. Bahkan, laki-laki yang sedang bertamu akan keluar dengan sopan dan mempersilakan tamu lain masuk.

“Maka yang lain itu masuk lagi dalam batas waktu tertentu, atau sampai jam 10 malam. Karena ini banyak saingannya, tentu masing-masing laki-laki ini akan merebut dan perempuan ini akan memilih. Pilihan ini lah akan mengikat janji, ‘kalau kamu serius sama saya apakah kamu mau menikah dengan saya. Kalau serius, maka saya akan bawa kamu sekarang’,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Sajim menjelaskan bahwa dalam tradisi kawin culik, calon mempelai pria umumnya mengajak saudara perempuannya saat menjemput kekasihnya. Tujuannya adalah untuk menghindari fitnah dan memastikan proses berlangsung karena sama-sama mau.

Dukung Laporkan Pernikahan Dini ke Polisi

Tokoh Adat Sasak ini pun mendukung langkah Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram yang melaporkan kasus pernikahan SMY dan SR ke Polres Lombok Tengah. Sajim menjelaskan bahwa dalam tradisi masyarakat Sasak, jika seorang anak perempuan dibawa pergi selama lebih dari satu hari, orang tua biasanya enggan menerimanya kembali. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran akan munculnya fitnah atau aib bagi keluarga.

“Ini kan orang tua dan perangkat sudah melakukan tugasnya. Untuk melerai pernikahan ini, tapi mereka lagi bersama-sama di suatu daerah. Nah kalau sudah lewat satu malam, ini kan kalau dipulangkan akan menimbulkan fitnah atau aib. Sehingga orang tua perempuan tidak menerima anaknya kembali,” ungkap Sajim.

Terkait pelaporan yang dilakukan LPA Mataram, Sajim menilai bahwa siapa pun yang terlibat dan memfasilitasi pernikahan anak harus bertanggung jawab dan patut diberi sanksi sesuai hukum.

Sajim menyambut baik pelaporan tersebut sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat bahwa menikahkan anak di bawah umur merupakan tindakan yang dilarang oleh Undang-Undang.

“Maka tidak salah LPA Mataram melaporkan kejadian itu. Itu bagus juga sebagai bentuk agar peringatan kepada kita dan pemerintah untuk lebih memasifkan sosialisasi dan pengawasannya,” bebernya.

Sajim juga menilai bahwa laporan ini bisa menjadi bahan introspeksi bagi para orang tua untuk lebih ketat mengawasi pergaulan anak-anak mereka.

——-

Artikel ini telah naik di detikBali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *