Tradisi Pacu Jalur, Bentuk Solidaritas Warga Sejak 1900an hingga 2025

Posted on

Tiap jalur dengan ukuran ruang tengah 1-1,25 meter adalah perwakilan tiap kecamatan peserta pacu jalur. Sebagai informasi, pacu jalur memang tradisi warga Kuansing namun pesertanya bisa berasal dari berbagai daerah bahkan dari negeri tetangga.

Kompetisi pacu jalur jelas memerlukan kerja sama antar anggota tim untuk mendengarkan komando, menjalankan strategi, dan mendayung bersama. Kerja sama juga diperlukan dalam proses pembuatan jalur yang berasal dari satu kayu banio atau kulim kuyiang panjang utuh tanpa dipotong.

“Pacu jalur jelas menuntut solidaritas masyarakat karena tanpa kekompakan dan kebersamaan, jalur tidak mungkin terwujud. Solidaritas ini bahkan sudah diterapkan dalam tahap maleo, yaitu saat kayu untuk jalur selesai ditebang dan ditarik keluar dari dalam hutan,” tulis Hasbullah dalam artikel berjudul Pacu Jalur dan Solidaritas Sosial Masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi.

Pacu jalur mulai dikenal sejak 1900an untuk memperingati hari besar Islam. Agenda ini diakhiri dengan makan bersama para peserta tanpa pemberian hadiah bagi pemenang. Menu makan bersama adalah hidangan tradisional yang sering dikonsumsi masyarakat setempat.

Sejarah Pacu Jalur Sejak Zaman Belanda

Sejarah pacu jalur berlanjut saat kedatangan Belanda ke Kuansing dan menduduki Kota Teluk Kuantan. Belanda menggunakan pacu jalu sebagai ucapan ulang tahun pada pimpinannya Ratu Wihelmina. Saat itu, pacu jalur digelar pada 31 Agustus bukan lagi saat hari besar Islam. Pacu jalur memberikan hadiah bagi pemenang 1-4 berupa tonggol, yaitu bendera berukuran besar yang dihias dengan nomor jalur berada di tengahnya.

Kegiatan pacu jalur sempat berhenti ketika pendudukan Jepang serta agresi militer 1 dan 2. Ketika itu, sektor ekonomi benar-benar hancur sehingga kehidupan masyarakat berantakan. Masyarakat harus berusaha keras memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kelanjutan kehidupannya. Masyarakat seperti tak ada tenaga menghidupkan pacu jalur seperti tahun-tahun sebelumnya.

Pacu jalur bangkit setelah tahun 1950 dengan usaha masyarakat setempat, yang ingin menghidupkan kembali tradisi dan budayanya. Awalnya pada tahun 1951-1952, pacu jalur menggunakan perahu kapasitas 7-15 orang. Kemudian muncul lagi dengan muatan total mencapai 25 orang, hingga jalur sesungguhnya kembali digunakan pada tradisi pacu jalur.

Saat itu, pacu jalur disebut mengambil bagian penting pada perayaan kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus. Hadiah yang diperebutkan adalah kerbau, sapi, dan piala bergilir untuk para pemenang. Sejak saat itu, pacu jalur tak pernah absen pada HUT RI dan menjadi salah satu perayaan terbesar di Kuantan Singingi.

Puncak pacu jalur diadakan di Kota Teluk Kuantan dengan nama Tepian Narosa di Kecamatan Kuantan Tengah. Tepian Narosa berlokasi sekitar 150 km ke arah selatan dari Kota Pekanbaru. Sebelum gelaran pacu jalur tingkat nasional tersebut, telah dilakukan proses seleksi di tingkat rayon dan kecamatan. Para pemenang kembali berlaga di perayaan puncak pacu jalur.

Pacu jalur selalu ditunggu-tunggu masyarakat setempat sebagai salah satu agenda terbesar di Riau. Wisatawan dalam dan luar negeri nonton pacu jalur sambil menikmati agenda lain misal pekan raya, pertunjukan tarian, pementasan lagu daerah, Randai Kuantan Singingi, pementasan kesenian tradisional lainnya dari kabupaten dan kota di Riau.

Di tahun 2025, pacu jalur viral hingga level internasional karena gaya tukang tari di perahu. Netizen dalam dan luar negeri menaruh perhatian pada pacu jalur dan ingin ikut nonton pada 23-26 Agustus 2025. Dengan besarnya perhatian dunia, penonton pacu jalur kemungkinan meningkat yang bisa membuka peluang baru bagi wisata di Riau.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *