Di antara rimpang sawah yang berderet seperti nafas panjang desa dan jalan setapak yang sering dilewati tanpa banyak kata, tumbuh sebuah oase kecil yang lebih dari sekadar tempat beristirahat.
Bagong Margono tidak memulai mimpinya dengan blueprint bisnis atau ambisi menjadi tuan rumah. Ia memulai dengan rasa malu. Malam-malam ketika ia melintasi tepi sungai Gejikan, matanya selalu terganggu oleh bungkus plastik yang berkubang, botol yang bergoyang di arus, dan bau yang seakan berkata bahwa tempat ini tak lagi layak untuk menjadi milik siapa pun.
Rasa malu itu bukan untuk dirinya sendiri saja, itu adalah rasa malu mewakili desa, sebuah perasaan bahwa sesuatu yang pernah memberi kehidupan kini dicabut martabatnya. Langkah pertama Bagong sederhana, ia memungut sampah.
Tidak ada spanduk, tidak ada izin resmi, hanya satu ember, sarung tangan usang, dan tekad yang datang dari rasa malu itu. Ia mulai mengajak seorang tetangga, lalu dua, lalu anak-anak yang penasaran.
Tidak semua menyambut dengan hangat. Ada yang mengolok karena dianggap sibuk dengan hal sepele, ada yang menuduh mencari keuntungan terselubung. Namun tiap kantong sampah yang diangkat, tiap kali tangan menyentuh air yang mulai jernih, tercipta percakapan baru tentang tanggung jawab, masa depan, dan apa artinya menjadi bagian dari sebuah komunitas.
Perubahan yang paling menakjubkan bukanlah kolam yang dibersihkan atau payung yang terpasang di pinggir sungai. Perubahan itu adalah cara orang-orang memandang sungai kembali.
Dari yang tadinya sekadar saluran buangan menjadi tempat bagi anak-anak untuk belajar memberi makan ikan nila, dari tempat yang ditinggalkan menjadi ruang untuk bertemu dan bercerita.
Seorang nenek mulai membawa teh manis ketika berkumpul, pemuda desa memutuskan memperbaiki jembatan bambu agar orang tua tidak lagi takut menyeberang, ibu-ibu mulai menata tanaman keras di tepi agar warung kecil bisa menambah lauk dari hasil panen lokal. Perlahan, sungai menjadi cermin bahwa kerja kecil yang konsisten akan memantulkan wajah komunitas yang lebih baik.
Watergong kemudian tumbuh seperti tanaman yang diberi pupuk dari kebiasaan menjaga. Ketika pengunjung berhenti karena tertarik pada ketenangan dan warna ikan koi yang menari, mereka tidak sekadar membayar tiket masuk, mereka memberi pengakuan bahwa tempat itu berharga.
Uang yang masuk menjadi nafas baru bagi usaha kecil, untuk memperbaiki atap, menggaji seorang koki, membeli benih ikan, atau menyekolahkan anak yang dulu membantu dengan memegang ember.
Dalam setiap transaksi sederhana, ada sebuah cerita yang mengalir kembali ke rumah-rumah, seorang petani menerima pesanan ikan segar dari restoran, seorang penjahit membuat seragam pelayan, seorang remaja belajar jadi pemandu kecil bagi wisatawan.
Tetapi lebih dari sekedar ekonomi, yang paling menyentuh adalah kebersamaan yang terbangun di meja makan Watergong, orang-orang duduk bersama tanpa harus menunggu undangan resmi.
Mereka berbagi makanan, tawa, bahkan kenangan-kenangan lama tentang sungai yang dulu melimpah ikan. Meja-meja itu menjadi tempat pertemuan antar generasi, di mana ilmu praktis tentang merawat alam berpadu dengan cerita moral tentang tanggung jawab bersama.
Pesan Bagong tidak pernah rumit, jagalah sungai, maka sungai akan menjaga kita kembali. Kesederhanaan pesan itu yang membuatnya begitu kuat. Ia tahu perlawanan tidak akan hilang dalam semalam, kebiasaan buruk berakar dalam struktur sosial dan ekonomi yang kompleks. Namun Bagong juga tahu bahwa konsistensi, satu ember, satu langkah, satu hari demi hari, membentuk karakter kolektif.
Dalam setiap usaha memungut sampah, masyarakat belajar menanggung beban bersama, dalam tiap kali memberi makan ikan, anak-anak belajar empati, dalam tiap rupiah yang kembali ke desa, warga merasakan bahwa alam dan manusia bisa saling merawat.
Kisah Watergong bukan dongeng kemenangan instan. Ada musim ketika hujan menerjang dan meja kayu harus dibereskan, ada saat pandemi yang menekan kunjungan, ada pula badai kata-kata dari pihak yang takut perubahan.
Namun akar yang cukup kuat membuat pohon ini tetap tegak. Saat badai reda, daun-daun yang rontok diganti dengan bibit pohon yang ditanam oleh anak-anak sekolah.
Saat pengunjung kembali, lampu-lampu kecil di sepanjang jalan masuk menyala, bukan sebagai simbol keuntungan semata, tetapi sebagai penanda bahwa ada yang berjaga di sana, manusia-manusia kecil yang memilih untuk merawat.
Kisah Watergong mengajarkan bahwa kebaikan yang dimulai dari satu hati bukanlah sebuah tindakan individu yang sia-sia. Ia menular. Ia menguatkan harga diri komunitas. Ia mengubah sungai menjadi ladang harapan yang memberi makan tradisi, ekonomi, dan kebersamaan.
Semoga Watergong tetap menjadi oase bukan hanya bagi pengunjung yang singgah untuk bersantai, tetapi bagi generasi yang belajar dari sebuah perbuatan kecil bahwa menjaga alam adalah menjaga martabat bersama.
—-
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Anda bisa mengirim cerita perjalanan Anda melalui tautan ini
