Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bali, I Made Ariandi, menyoroti banyaknya warga negara asing (WNA) yang tinggal di kontrakan atau kos-kosan, bukan di hotel terdaftar. Dia waswas dengan dampak negatif fenomena itu terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal.
“Ini menjadi konsen kami saat ini. Di wilayah Canggu sudah mulai ada desakan WNA tidak tinggal di kos-kosan, kemudian di sini (Karangasem) juga sudah mulai dilakukan juga,” kata Ariandi saat ditemui sebelum Musyawarah Kabupaten (Muskab) Kadin Karangasem, Jumat (7/11/2025) dilansir detikBali.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Maraknya WNA tinggal di kontrakan dan kos-kosan itu sudah menjadi salah satu masalah pariwisata di Bali. Belakangan, kasus itu dinilai semakin meningkat.
Ariandi menilai persoalan itu bisa menjadi bola salju karena sejumlah kelompok WNA dengan visa golongan tertentu bisa membangun usaha di Bali. Bahkan, ada indikasi WNA tersebut mulai menjalankan bisnis terselubung pada sektor yang menjadi ruang gerak UMKM lokal di Bali.
Dia pun mendorong pemerintah daerah (pemda) segera membuat regulasi yang tegas untuk mengantisipasi potensi ancaman tersebut supaya UMKM lokal dapat terus berkembang.
Ya, berkaca di sejumlah kota wisata di Spanyol, seperti Barcelona dan Mallorca, turis asing yang memilih tinggal di kontrakan atau kos-kosan, apalagi dengan menginap jangka panjang, harga sewa dan nilai properti meningkat tajam. Akibatnya, warga lokal kesulitan mendapatkan tempat tinggal yang terjangkau dan pada akhirnya terdesak ke pinggiran kota.
Pemerintah kota Barcelona bahkan harus membatasi izin sewa jangka pendek dan mengatur ketat konversi hunian menjadi akomodasi wisata karena dampaknya terbukti mengikis ruang hidup dan ruang usaha penduduk lokal.
Pola serupa mulai terlihat di Bali, ketika kos dan kontrakan yang sebelumnya dihuni pekerja dan pelaku UMKM lokal kini beralih menjadi ruang tinggal bagi WNA yang bekerja secara daring atau menjalankan usaha informal. Jika tidak diatur, peningkatan permintaan sewa yang didorong WNA mampu mendorong naiknya harga properti dan biaya hidup, sehingga UMKM lokal bukan hanya tertekan pada sisi usaha, tetapi juga pada biaya bertahan hidup sehari-hari.
Selain itu, turis asing, yang datang dari Eropa, Amerika Serikat (AS), Australia, atau bahkan Singapura, memiliki modal yang relatif lebih besar. Mereka diuntungkan dengan modal dari nilai tukar mata uang yang jauh lebih besar.
Dengan modal besar itu, mereka lebih leluasa untuk menyewa tempat lebih strategis, membeli alat produksi lebih bagus, dan memasang tarif promo yang sangat rendah. Sebaliknya, UMKM lokal yang modalnya terbatas tidak bisa bersaing pada harga dan fasilitas.
Di saat bersamaan, banyak aktivitas usaha mereka tidak tercatat secara resmi, sehingga tidak dikenakan izin usaha dan pajak daerah. Kondisi ini menempatkan UMKM lokal dalam posisi yang tidak seimbang, sebab pelaku usaha lokal wajib mematuhi aturan perizinan, pajak, dan biaya operasional yang lebih tinggi.
Selain itu, masuknya WNA ke sektor ekonomi mikro, seperti penyewaan motor, kelas yoga, jasa wisata harian, makanan rumahan, hingga barbershop kecil, berpotensi merebut pangsa pasar yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal.
***
Selengkapnya klik di sini.
