UU Kepariwisataan Baru Tuai Polemik, Pengusaha Nilai Bisa Jegal Industri Hotel

Posted on

Disahkannya revisi UU Kepariwisataan oleh DPR pada 2 Oktober 2025 menuai reaksi beragam. Para pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menilai aturan baru itu bisa menghambat pertumbuhan industri hotel.

“Sebetulnya nggak cuma hotel, revisi UU Kepariwisataan bisa menjegal semua industri yang terkait dengan pariwisata,” ujar Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran saat dihubungi detikTravel Senin (13/10/225).

Dia menilai ancaman muncul karena revisi UU Kepariwisataan menghilangkan GIPI sebagai pihak yang terlibat dalam pengembangan sektor ini. Maulana menyebut GIPI adalah rumah besar bagi seluruh pelaku dan asosiasi pariwisata Indonesia.

GIPI lahir sebagai amanat dari UU Kepariwisataan nomor 10 tahun 2009 sebagai wadah resmi pelaku industri dan pemerintah. Wadah itu dapat mempermudah kolaborasi pemerintah dan swasta untuk mengembangkan produk dan melakukan pemasaran.

PHRI termasuk dalam GIPI sebagai pelaku industri wisata di bidang akomodasi dan penginapan. Adanya GIPI mempermudah PHRI melakukan kerja sama dengan pemerintah dan sektor lain untuk mengembangkan pariwisata Indonesia.

“Kalau rumah besarnya hilang, maka tidak ada konsolidasi jadinya jalan sendiri-sendiri. Ada rumah besar jadi lebih gampang untuk kolaborasi pengembangan pasar,” kata Alan.

Tekanan terhadap industri hotel sendiri sebetulnya sudah sangat besar sebelum revisi UU Kepariwisataan disepakati. Tekanan muncul dari efisiensi pemerintah yang berdampak pada okupansi hingga serapan tenaga kerja.

Dengan kondisi, Alan bersama PHRI dan GIPI berencana mengirim surat para Presiden Prabowo untuk menjelaskan hambatan industri pariwisata. Alan berhadap ada pertimbangan yang lebih bijak demi kemajuan dan perkembangan industri hotel serta pariwisata di Indonesia.

Sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azhari menyatakan bahwa UU Kepariwisataan baru itu mengakomodasi perubahan mendasar, di antaranya aspek filosofi pariwisata, dari pariwisata sebagai industri menjadi eksosistem kepariwisataan.

Azril mengatakan bahwa UU Kepariwisataan itu juga mengakomodasi restrukturisasi tata kelola yang menekankan pada peran masyarakat lokal atau konsep pariwisata berbasis komunitas. Restrukturisasi itu berpedoman pada standar yang ditetapkan Badan Pariwisata Dunia (UN Tourism).

“Dengan adanya poin utamanya wisata keberlanjutan menjadi prioritas, diharapkan pariwisata bergerak berbasis komunitas. Saya berharap 10 destinasi prioritas, dan 5 super prioritas kembali dievaluasi. Menurut saya sudah tidak tepat karena investor base bukan community base. Dan juga daya tarik, keunikan, dan pariwisata harus dikembangkan untuk semua usia,” kata Azril dalam wawancara dengan detikTravel beberapa waktu lalu.