Vietnam Ramai Turis, tapi… Mana Duitnya

Posted on

Industri pariwisata Vietnam ternyata tidak semulus ketenarannya. Antara banyaknya turis dan pengeluaran, berbanding terbalik.

Vietnam menyambut rekor pariwisata, lebih dari 19 juta wisatawan internasional datang selama 11 bulan pertama di tahun 2025. Para ahli mengatakan bahwa negara itu belum mampu mengubah ledakan pariwisata menjadi pendapatan ritel yang kuat, karena kurangnya infrastruktur belanja kelas dunia dan produk bernilai tinggi yang benar-benar menarik bagi wisatawan asing.

Dilansir dari Tuoitre, Selasa (16/12/2025), wisatawan asing cukup royal untuk menikmati wisata kuliner dan menjelajahi atraksi budaya dan alam. Namun pengeluaran ritel mereka tetap rendah.

Nguyen Thi Anh Hong, Direktur e-commerce di 24hStore, mengatakan banyak wisatawan dari Eropa, AS, dan Australia membandingkan harga secara ekstensif sebelum membeli, memeriksa biaya di seluruh Vietnam, gerai bebas bea, dan pasar domestik mereka.

Kekhawatiran tentang pengembalian barang, garansi, pajak, dan dokumentasi semakin menghambat pembelian besar. Wisatawan sering membatasi pengeluaran pada aksesori murah, perangkat lama, atau barang-barang yang dibutuhkan selama perjalanan mereka.

Pham Quy Huy, direktur Kiwi Travel Company, mengatakan banyak produk yang tersedia untuk wisatawan terlalu sederhana atau massal untuk menarik minat wisatawan kelas menengah dan atas. Padahal kelas ini mengharapkan desain unik, merek yang kuat, dan kualitas yang lebih tinggi.

Di Delta Mekong, kebanyakan pengunjung wisata kuliner, berjalan-jalan, dan membeli suvenir sederhana seperti topi kerucut seharga VND20.000-30.000 (Rp 12.000 ribuan). Huy mencatat bahwa barang-barang kerajinan tangan yang terbuat dari alang-alang, teratai, atau eceng gondok menarik minat lebih besar tetapi membutuhkan penceritaan dan branding yang lebih kuat.

“Tanpa produk yang halus dan khas secara budaya, Vietnam kesulitan mengubah rasa ingin tahu wisatawan menjadi pengeluaran ritel yang berarti,” katanya.

Bandara-bandara Vietnam disasar menjadi pusat ritel dan hiburan utama, namun penawaran saat ini masih kurang memadai. Toko bebas bea hanya menyediakan produk terbatas, kurangnya merek mewah yang diakui secara global, dan seringkali tidak dapat bersaing dalam hal harga.

Tempat makan, lounge, spa, pertunjukan budaya, dan ruang hiburan masih jarang, sementara prosedur pengembalian pajak yang lambat dan berbasis kertas menghambat pembelian barang-barang mahal.

Bandara Changi di Singapura dan Incheon di Korea Selatan misalnya, telah membangun kota bandara tempat para pelancong dapat makan, berbelanja merek mewah, menghadiri acara budaya, dan bersantai di zona rekreasi yang luas. Pusat-pusat ini menghasilkan pengeluaran per penumpang yang jauh lebih tinggi.

Para ahli percaya Vietnam dapat membuka potensi serupa dengan memperluas pilihan ritel dan tempat makan, menciptakan zona budaya yang immersif, mendigitalisasi pengembalian pajak, dan meningkatkan koneksi transit antara bandara dan pusat kota.