Rencana pengoperasian seaplane di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Lombok, Nusa Tenggara Barat diklaim akan menggunakan tenaga listrik dan kedap suara.
Tetapi klaim tersebut dipertanyakan langsung oleh pakar kebijakan publik pariwisata, Profesor Azril Azahari. Ia mengatakan statement yang dikeluarkan oleh Kepala Balai TNGR, Yarman, bahwa pengoperasian seaplane itu tidak akan mengganggu satwa dan ekosistem yang ada di sana.
“(Seaplane) bisa listrik, itu nggak bersuara, polusinya nggak ada tapi tetap dia pakai propeller. Propeller itu suaranya lebih besar daripada jet, nah flora oke, nah untuk fauna binatang gimana?,” ucap Prof Azril saat dihubungi detikTravel, Senin (23/6/2025).
Dan yang menjadi perdebatan lainnya selain wacana pembangunan seaplane adalah glamping yang dikhawatirkan akan membuat redup pelaku wisata di sana. Prof Azril pun menegaskan untuk adanya analisis yang mendalam dan juga komprehensif.
Untuk bergulirnya ekosistem secara menyeluruh antara lingkungan dan juga pelaku usaha di sana, salah satu contoh yang ia sebutkan adalah Nihiwatu di Pulau Sumba yang menjadi the best resort in the world.versi majalah Travel+Leisure.
“Itu kan tidak ada jalan, tidak ada apa-apa makanya dan itu melibatkan masyarakat setepat jadi community-nya juga dipakai bukan hanya pemilik dari orang-orang asing. Tapi yang melaksanakan, mengelola itu bersama masyarakat mereka, itu bagus,” katanya.
Sebagai informasi, Prof Azril menjelaskan bahwa saat ini paradigma pariwisata sangat dinamis, tidak pakem terdapat satu sudut pandang. Oleh karena di masa sekarang sudah bukan lagi zamannya mass tourism. Yang mana pelibatan masyarakat dalam menjalankan ekosistem pariwisata merupakan hal yang harus di jalani. Bukan lagi hanya menguntungkan investor.
“Pertama itu mass tourism itu terjadi sebelum tahun 1980 nah yang diandalkan di sana skalanya besar dan skala bisnisnya besar dibuat oleh investor, itu konsepnya kuantiti dikembangkan, baik skala maupun size-nya itu besar. Dia tidak melibatkan masyarakat segala macam cuma untuk kepentingan jadi profit yang lebih diuntungkan,” jelas Prof Azril.
Berkembangnya zaman, paradigma pariwisata pun ikut bergeser di awal 2000-an yang menjadi pariwisata alternatif. Di mana pelibatan masyarakat mulai digelorakan sesuai arahan dari UN Tourism, yang mewaijbkan untuk pariwisata yang berlandaskan komunitas lokal.
“Jadi pariwisata berbasis kepada komunitas atau masyarakat, jadi melibatkan baik pengelola maupun pemiliknya. Nah jadi itu yang disebut dengan community based tourism,” lanjutnya.
Dan saat ini yang menjadi acuannya adalah ecosystem tourism, di mana pariwisata yang berlandaskan pada keberlanjutan lingkungan. Ia menjelaskan ada tiga aspek dalam ecosystem tourism itu: atmosfer (yang ada di langit) , pedosfer (yang ada di darat), dan adat-budaya.
“Jadi ketiga ini saling terkait dan saling berhubungan dan harus seimbang. Jadi kalai kita bicara lingkungan, itu harus balance nggak ada sesuatu yang hilang, jadi rusak, tidak seimbang, merusak semua, hilang tatanannya untuk ekosistemnya,” ia melengkapi