Koudounaraioi di Yunani: Tradisi Melepas Tekanan Hidup dengan Kekacauan

Posted on

Di sebuah desa di Yunani terdapat tradisi unik dan menarik perhatian dunia. Setahun sekali orang-orang di sana akan berubah menjadi setengah ‘binatang buas’.

Ritual yang disebut ‘Koudounaraioi’ atau orang lonceng itu dilakukan sejak zaman pra Kristen dan dijalankan oleh orang-orang Yunani kuno. Tradisi itu dilestarikan oleh keturunan mereka di desa-desa pegunungan di Desa Distomo, kawasan Boeotia, sekitar 100 kilometer barat laut dari Athena.

Melansir AP, Senin (28/7/2025) di Desa Distomo warga menggelar karnaval dengan memakai pakaian kulit domba atau kambing. Mereka juga mengenakan lonceng perunggu besar yang diikat di pinggang mereka.

Mereka menari, berteriak, dan bergerak dengan ritmis melalui jalan desa, menciptakan suasana kekacauan yang penuh simbolisme. Bukan tanpa maksud, karnaval itu dilakukan untuk menyadarkan jiwa, mengusir energi negatif, dan memberi semangat baru sebagai pertanda datangnya musim semi.

Dengan asesoris itu mereka menari menyusuri jalan-jalan desa.

Suara lonceng yang nyaring dan gerakan mereka yang energik, sering kali dibumbui dengan umpatan dan tawa di sekitar api unggun di alun-alun desa, menciptakan suasana meriah yang didorong oleh semangat anggur. Inilah inti dari perayaan tersebut.

Memuliakan Dewa Dionysus

Akar tradisi ini berasal dari perayaan kuno untuk memuliakan Dionysus, dewa anggur, kesuburan, dan pesta. Saat itu, sebagaimana sekarang, perayaan ini menjadi semacam cara untuk pelepas tekanan sosial dan budaya.

“Kami ingin memberikan kejutan bagi masyarakat untuk mengusir kesedihan dan segala beban yang mereka hadapi. Sekaligus membangkitkan semangat agar mereka bisa kembali merasakan hangatnya hidup,” ujar Ketua Manusia Lonceng, Giorgos Papaioannou.

Bahkan, kata Giorgos, mereka sengaja datang ke pemakaman dan membuat keributan, bukan untuk tidak sopan, tapi untuk ‘membangunkan’ jiwa-jiwa yang telah pergi.

“Kami ingin mengingatkan mereka dan juga diri kami sendiri bahwa kami masih di sini, masih hidup, dan masih terus merayakan kehidupan,” katanya.

Ritual kuno itu yang awalnya dilakukan oleh masyarakat agraris untuk menyambut datangnya musim semi, kemudian diadopsi ke dalam kalender Kristen. Hari Senin menjadi penutup rangkaian karnaval dan sekaligus menandai awal masa prapaskah, periode puasa, dan peningkatan ibadah menjelang Paskah yang pada tahun ini jatuh pada 20 April.

Distomo adalah desa yang memiliki tempat khusus dalam sejarah Yunani sebagai simbol penderitaan masa perang. Pada Juni 1944, pasukan pendudukan Nazi membunuh 230 warga sipil termasuk lebih dari 50 anak-anak, sebagai pembalasan atas serangan kelompok perlawanan.

Kini, sebuah monumen Perang Dunia II berdiri menghadap ke desa sebagai pengingat peristiwa kelam itu. Wali Kota Distomo, Ioannis Stathas, menjelaskan dengan berlangsung tradisi tersebut selain sebagai pelestarian budaya juga sebagai rasa syukur menyambut musim semi tiba.

“Setelah tragedi itu kami tetap menjaga tradisi ini, tujuan utamanya adalah menyambut musim semi. Ini adalah tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad, berasal dari masa pra-Kristen dan diwariskan turun-temurun,” kata Ioannis.

Tahun ini, tradisi manusia lonceng yang digelar Maret. Saat itu, mayoritas peserta karnaval adalah anak-anak sekolah.

Mereka membawa lentera, dan tongkat dari kayu zaitun saat mereka memasuki desa. Mereka diiringi oleh anak-anak yang tertawa riang serta para orang tua yang mengenakan kostum seperti dinosaurus, polisi, dan kostum menarik lainnya.

Para pengunjung disambut dengan segelas anggur dalam wadah plastik dan seporsi sup kacang hangat. Sementara itu, anak-anak menari mengikuti irama musik rakyat Yunani, lagu-lagu Barat, hingga K-pop yang populer.

Seorang sejarawan sekaligus kurator Museum Distomo, Amalia Papaioannou, mengatakan meski perayaan itu dulunya didominasi oleh laki-laki, kini telah beradaptasi dengan memasukkan unsur-unsur modern namun tetap berpijak pada akar tradisinya.

Amalia mengatakan masyarakat agraris pada masa lalu sangat bergantung pada kondisi alam. Karena itu, mereka menciptakan berbagai ritual untuk menolak nasib buruk dan mengundang keberuntungan.

Nah, tradisi itu menjadi momen kekacauan sosial diizinkan sejenak sebelum masyarakat kembali ke keteraturan.

“Tradisi ini memberi ruang bagi semacam peran berbeda dalam masyarakat, orang-orang memakai topeng dan bisa bebas berbicara, bahkan melontarkan candaan yang agak nyeleneh. Bahkan Gereja pun, dalam sejarahnya, pernah mentoleransi perayaan seperti ini karena melihat ada nilai budaya dan sosial yang cukup kuat di dalamnya,” ujar Amalia.

“Bisa dibilang, ini semacam momen untuk me-reset semuanya,” kata dia.