Repan (16) dibegal di Jakarta Pusat. Tragisnya, dia juga ditolak rumah sakit saat meminta perawatan usai insiden tersebut.
Pembegalan itu terjadi pada Minggu (26/11/2025) sekitar pukul 04.00 WIB di Jalan Pramuka Raya, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Saat itu, Repan sedang berjalan kaki membawa madu dan asesoris khas Baduy, juga sejumlah uang hasil penjualan madu dan asesoris itu.
Kemudian, tiba-tiba Repan dipepet dua sepeda motor dengan empat orang pengendara. Saat itu, suasana jalanan cukup lengang.
Salah satu dari gerombolan itu langsung merampas tas yang dibawa Repan, sedangkan seorang lain mengacungkan sebilah senjata tajam. Repan menyebut benda itu sebagai celurit dalam ukuran kecil.
Terkejut karena tasnya dirampas, Repan sempat melawan dan berusaha merebutnya lagi. Namun, pria dengan senjata tajam itu menyerangnya.
Celurit kecil itu mengarah ke leher dan ditangkis Repan dengan tangan kiri. Akibatnya, tangan kirinya sobek. Senjata tajam itu sempat menggores pipi kirinya.
Setelah itu gerombolan tersebut kabur. Repan sempat mengejar tetapi gagal.
Akibat peristiwa itu, Repan mengalami kerugian sekitar Rp 4,5 juta, yakni uang tunai dari penjualan madu sebesar Rp 3 juta dan 10 botol madu yang belum terjual.
Repan kemudian mencari rumah sakit terdekat untuk meminta pertolongan. Namun, alih-alih mendapat penanganan medis, Repan mengaku petugas di rumah sakit yang didatanginya justru menanyakan KTP dan dokumen pribadinya.
“Saya jawab tidak ada KTP, lalu mereka nanya umur. Saya jawab ‘saya 16 tahun’,” kata Repan dikutip dari BBC Indonesia.
Petugas kemudian menyarankan Repan untuk mendatangi rumah sakit lain yang disebut berjarak tak jauh dari lokasi. Repan sempat mengikuti instruksi tersebut, tapi memutuskan kembali lantaran tak mengetahui persis lokasi rumah sakit yang dimaksud sang petugas.
Saat kedatangan kedua itu petugas rumah sakit baru membalut luka di tangan kiri Repan dengan kain kassa untuk menyerap darah.
“Dibungkus saja, tidak pakai obat, tidak dibersihin dulu,” kata Repan, sembari menambahkan bahwa pemasangan kain kassa bahkan dilakukan di luar ruang perawatan.
Setelah selesai memasang kain kassa, petugas juga memintanya untuk pulang ke Baduy Dalam.
“Pulang aja dulu, jangan jualan lagi. Pulang ke kampung, nemuin orang tua,” ujar Repan, menirukan ucapan petugas.
Repan Minta Pertolongan Kenalan, Jarak 11 Km
Bagi Repan, saran itu memberatkan karena perjalanan pulang ke Baduy Dalam membutuhkan waktu tempuh tiga hari. Repan lalu memutuskan mendatangi kenalan keluarganya yang bernama Johan Chandra di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Cempaka Putih ke Tanjung Duren berjarak sekitar 11 kilometer.
Johan yang dipanggil Repan dengan sebutan ‘Pak Nelo’ itu merupakan pelanggan madu dagangannya dan pernah mengunjungi Baduy Dalam untuk berwisata.
“Saya nyamper Pak Nelo biar bisa berkomunikasi dengan keluarga di kampung,” ujar Repan.
Dia tiba di kediaman Johan sekitar pukul 08.30 WIB.
Johan mengatakan awalnya mengira Repan telah mendapat penanganan medis lantaran tangannya telah dibalut kain kassa.
“Tapi ia ngeluh sakit sambil menangis,” kata terang Johan.
Khawatir dengan kondisi tersebut, Johan lantas membawa Repan ke klinik tak jauh dari kediamannya.
“Setelah kain kassa dibuka oleh staf, saya kaget, darahnya langsung berpancuran,” ujar Johan yang mengaku telah mengenal keluarga Repan selama sekitar tiga tahun.
Dia pun menyebut Repan langsung lemas karena darahnya tak berhenti mengucur.
Pihak klinik lalu menyarankan Johan untuk membawa Repan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis lebih lanjut.
“Saya ajak ke rumah sakit menggunakan mobil, tapi Repan bersikeras jalan kaki,” ujar Johan.
Dia menyebut akhirnya ikut menemani Repan berjalan kaki menuju Rumah Sakit Ukrida yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumahnya.
“Ia juga meminta saya menghubungi Ata, paman Repan, untuk mengabari keluarga di Baduy, tapi saat itu tak bisa [dihubungi]”,” kata dia.
Saat ditemui di Rumah Singgah Pemerintah Provinsi Banten di Jakarta Selatan pada Kamis malam (6/11), Ata mengaku baru mengetahui kabar keponakannya terluka di Jakarta pada 31 Oktober atau lima hari setelah insiden pembegalan.
Ata, yang berdiam di Baduy Luar, mengatakan saat itu sedang berada perkebunan yang tidak terjangkau jaringan seluler sehingga terlambat menerima kabar dari Johan.
“Keluarga sangat berterima kasih atas pertolongan Pak Nelo. Kalau tidak ada pertolongan pertama yang diberikan Pak Nelo, mungkin tidak terselamatkan,” kata dia.
Repan saat ini masih menetap di Rumah Singgah Pemerintah Provinsi Banten sembari menunggu proses hukum kasus pembegalan. Ia ditemani Ata dan seorang paman lain bernama Dani Saeputra.
Dani Saeputra mengatakan laporan kepolisian telah didaftarkan keluarga ke Mapolsek Cempaka Putih pada 2 November 2025.
“Tapi sampai saat ini belum ada perkembangan yang jelas,” kata Dani.
Selain kedua pamannya, beberapa warga Baduy Luar turut hadir menjenguk Repan di rumah singgah tersebut.
Beberapa dari mereka mengobrol di halaman rumah singgah, sementara sebagian lain turut memasuki kamar tempat Repan beristirahat manakala beberapa tamu datang membesuk.
Enip yang merupakan panggiwa desa atau setingkat Ketua RW pada struktur masyarakat perkotaan mengatakan langkah hukum ini ditempuh agar insiden serupa tak menimpa warga Baduy lain saat berdagang ke Jakarta.
“Kalau terus menerus dibiarkan, [pelaku] enggak ditangkap, itu akan menyebar luas dan tambah banyak,” kata Enip.
Kata Gubernur DKI Jakarta
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyangkal ada penolakan layanan bagi masyarakat Baduy di dari rumah sakit di bawah naungan Pemda DKI Jakarta, menyebutnya sebagai “miskomunikasi”.
Pramono menyampaikan sanggahan itu setelah berkomunikasi dengan kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
“Jadi, untuk warga Baduy, tidak benar ada penolakan dari rumah sakit,” kata Pramono dikutip dari detikNews.
“Tidak ada sama sekali larangan bagi rumah sakit untuk menerima pasien. Kepala dinas juga turun mengecek ke lokasi, dan hasilnya tidak ada penolakan. Jadi, itu sama sekali tidak benar,” ujar dia. kronologi
