Pagi itu udara begitu dingin. Rumput dan pohon-pohon pinus di sekitar kami masih basah, sisa hujan semalaman. Malam sebelumnya, kami tidur di dalam tenda di area camping campervan, cukup jauh dari permukiman warga-di tengah hutan pinus yang sunyi dan hening.
Di tengah hutan pinus, tempat yang sunyi, sepi dan hening. Hanya suara angin, binatang malam dan rintik hujan yang mengiringi tidur kami. Kami terbangun pukul 04.00 WIB, terlambat satu jam dari rencana. Alarm ponsel ternyata berbunyi dengan volume rendah-lupa dinaikkan semalam. Meski begitu, kami belum terlambat untuk menuju Kawah Putih, yang hanya berjarak sekitar 30 menit dari tempat kami berkemah.
Dengan cepat kami bersiap dan berangkat. Selama 15 menit pertama, kami melintasi jalan kecil yang menembus hutan gelap. Jalanan begitu sepi, tak ada kendaraan lain. Baru 15 menit berikutnya, ketika kami sampai di jalan utama, kendaraan mulai ramai lalu-lalang. Rupanya, banyak dari mereka juga hendak menuju Kawah Putih.
Sesampainya di pintu masuk Kawah Putih, berbagai macam kendaraan sudah banyak yang terparkir dan mengantre di pintu loket mobil menuju Kawah Putih.
Di sebelahnya, antrean pengunjung perorangan bahkan lebih panjang. Mereka yang masuk lewat jalur ini nantinya akan menggunakan kendaraan ontang-anting-fasilitas khusus dari pengelola untuk membawa wisatawan ke lokasi utama kawah atau ke puncak Sunan Ibu untuk menikmati matahari terbit.
Kendaraan ontang anting merupakan fasilitas yang diberikan oleh pengelola, yaitu kendaraan khusus yang telah dimodifikasi. Sejenis mobil angkutan kota, tapi semua kursi penumpang dihadapkan ke depan semua. Jendelanya terbuka, tanpa kaca.
Kami memarkirkan kendaraan di samping kanan pintu masuk, di dekat masjid. Suara iqamah sudah berkumandang, menandakan salat Subuh akan segera dimulai. Kami segera berwudu dan masuk ke dalam barisan jamaah.
Masjid ini cukup ramai pagi itu. Sebagian besar jamaah adalah pengunjung yang bersiap mendaki ke puncak Sunan Ibu untuk menyaksikan sunrise di Kawah Putih.
Sunan Ibu adalah salah satu puncak dari Gunung Patuha, berada di ketinggian 2.343 mdpl. Tempat ini merupakan titik terbaik untuk menyaksikan keindahan Kawah Putih dari ketinggian, apalagi saat matahari mulai terbit. Dari puncak ini, kita bisa melihat hamparan kawah dengan air berwarna putih kehijauan yang diselimuti kabut, dihiasi cahaya keemasan dari matahari pagi di sisi timur.
Untuk mencapai puncak Sunan Ibu, pengunjung harus mendaki selama kurang lebih 30 menit dari gerbang masuk. Jalurnya berupa anak tangga yang melewati rimbunnya pepohonan. Pendakiannya tidak terlalu berat dan cukup bersahabat untuk semua usia-mulai dari anak-anak hingga orang tua.
Di sepanjang jalur pendakian juga sudah tersedia pagar pembatas dari pipa besi, sebagai batas aman bagi pengunjung.
Inilah momen yang dicari banyak orang: sunrise di puncak Sunan Ibu. Pemandangan yang membuat setiap langkah mendaki, dingin pagi hari, dan antrean panjang menjadi sangat berharga. Sebuah lukisan alam yang begitu nyata-bukan hanya indah, tapi juga menakjubkan.
Dari atas sini, kami bisa melihat bahwa Kawah Putih terbentuk akibat letusan Gunung Patuha yang menciptakan sebuah kaldera besar. Kaldera itu kemudian terisi air, membentuk danau kawah berwarna putih kehijauan. Warna ini menunjukkan kandungan belerang yang tinggi-yang juga menjadi asal mula penamaan Kawah Putih.
===
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikTravel. Klik di sini untuk mengirim cerita perjalanan Anda.