Tak Cuma Efisiensi, Ini yang Bikin Hotel-Hotel Gigit Jari

Posted on

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia mengaku kesulitan di tengah gempuran efisiensi. Tapi tak cuma itu, pemicu lain juga ada.

Industri perhotelan tengah digempur dengan masalah efisiensi yang kini sedang dilanda oleh Indonesia. Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Daerah Khusus Jakarta (BPD PHRI DK Jakarta) mengatakan hotel-hotel Jakarta sedang dibuat pusing dengan kenaikan biaya operasional.

“Tidak hanya dihadapkan pada kekurangan pasar, pelaku usaha hotel juga harus menanggung peningkatan biaya operasional yang signifikan,” ucap Ketua BPD PHRI Jakarta, Sutrisno Iwantono, lewat meeting zoom pada Senin (26/5).

Ia menjelaskan bahwa tarif dari PDAM Mengalami kenaikan hingga 71%, sementara harga gas melonjak 20%. Beban ini diperberat dengan kenaikan tahunan Upah Minimum Provinsi (UMP) sampai 9% di tahun ini.

“Dengan tekanan dari sisi pendapatan dan biaya yang tidak seimbang, banyak pelaku usaha mulai mengambil langkah-langkah antisipatif, yaitu Pengakhiran Hubungan Kerja (PHK) kontrak,” jelasnya.

Dari hasil survei yang dilakukan PHRI, sebanyak 70% responden menyatakan PHK jika kondisi ini terus berlanjut. Responden memprediksi akan melakukan PHK 10-30%.

“Selain itu, 90% hotel melakukan pengurangan daily worker dan 37% responden akan melakukan pengurangan staf,” tambahnya.

Hal lain yang memperburuk keadaan adalah kerumitan regulasi dan sertifikasi. PHRI mengungkapkan bahwa saat ini hotel-hotel harus memiliki berbagai jenis izin, seperti izin lingkungan, sertifikat laik fungsi, sertifikat halal, hingga perizinan minuman beralkohol.

“Proses birokrasi yang panjang, duplikasi dokumen antarinstansi, serta biaya yang tidak transparan dinilai menghambat kelangsungan usaha,” ujarnya.

PHRI meminta agar pemerintah memberikan langkah konkret dan strategi pemulihan yang tepat. Tak bisa dipungkiri, industri perhotelan adalah salah satu tulang punggung pariwisata dan penyerap tenaga kerja Indonesia.

Sutrisno mengatakan bahwa pukulan efisiensi, kenaikan harga dan kerumitan regulasi akan mempengaruhi kontribusi pendapatan asli daerah Jakarta sampai sekitar 13%.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2023, terdapat lebih dari 603 ribu tenaga kerja yang bergantung pada sektor akomodasi dan makanan-minuman di Jakarta.

“Penurunan kinerja pada sektor ini juga membawa efek domino terhadap sektor lain seperti UMKM, petani, pemasok logistik, dan pelaku seni budaya, mengingat eratnya keterkaitan rantai pasok dan ekosistem industri pariwisata,” kata dia.