Di kawasan Glodok, Jakarta Barat, berdiri sebuah gereja yang berbeda dari gereja Katolik pada umumnya, Gereja Santa Maria de Fatim atau yang sering juga disebut Gereja De Fatma. Bangunan berusia sekitar 80 tahun itu memiliki arsitektur yang lebih mirip klenteng dibandingkan gereja Katolik pada umumnya.
Awalnya, bangunan itu merupakan rumah milik seorang saudagar Tionghoa pada 1950-an. Saudagar tersebut kemudian berpindah keyakinan dan memeluk agama Katolik.
Sebagai ungkapan cinta dan devosinya, dia menyerahkan rumah tersebut untuk dijadikan gereja. Sejak saat itu, berdirilah Gereja Santa Maria de Fatima yang kita kenal sekarang.
Dari luar, suasana kuno langsung terasa. Bangunannya menggunakan warna merah dominan khas budaya Tionghoa. Di bagian kanan halaman, berdiri patung Bunda Maria sebagai penanda identitas Katolik, sementara bangunan utama tetap mempertahankan struktur arsitektur rumah Tionghoa tradisional.
Masuk ke dalam, nuansa Tionghoa semakin terasa kuat. Dinding merah, ornamen emas, altar serba merah, hingga ukiran-ukiran bergaya oriental menjadi elemen utama interiornya. Bahkan, sosok Yesus dan Bunda Maria digambarkan dengan wajah Tionghoa atau “Chinois”.
“Awalnya gereja ini milik saudagar dari Tionghoa, uniknya di sini Yesus atau Bunda Maria itu bajunya pakai pakaian Chinese, seperti yang pernah dikasih ke Paus Fransiskus, kan Bunda Maria pakai kebaya. Nah, itu sebagai simbol saja,” kata Arif, pemandu wisata UPK Kota Tua, Jumat (5/12/2025).
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Menurut Arif langkah itu dilakukan agar ajaran Katolik lebih mudah diterima masyarakat Tionghoa yang terbiasa dengan bentuk visual mirip leluhur mereka.
Bangunan Gereja Santa Maria de Fatima juga telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Di bagian depan tertera keterangan bahwa gedung ini dilindungi oleh STBL 1931 No. 238 sebagai monumen bersejarah.
Bagi traveler yang ingin berkunjung, gereja ini terbuka untuk umum. Namun tentu saja, pengunjung tetap diimbau untuk menjaga ketenangan dan menghormati umat yang sedang beribadah.
Gereja Santa Maria de Fatima bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga saksi sejarah akulturasi budaya Tionghoa dengan Katolik di Jakarta. Bangunan itu menjadi bukti bahwa keragaman budaya dapat hidup berdampingan dengan indah dan saling menghidupkan.
