Di Cirebon, ada satu satwa unik yang dikeramatkan. Namanya Kuya Belawa. Satwa ini sedang berusaha dilestarikan.
Warga desa Belawa di Kecamatan Lemahabang, Cirebon, Jawa Barat memiliki satwa unik yang dikenal sebagai Kuya Belawa. Asal-usul satwa ini ternyata bersumber dari cerita rakyat Jaka Saliwa.
Alkisah, ada seorang pemuda bernama Jaka Saliwa, dengan wajah sebelah hitam dan sebelah putih. Dalam legenda, dia digambarkan mencari ilmu ke seorang ulama, berharap wajahnya bisa berubah.
Namun saat harapannya kandas, ia justru merobek kitab yang ia pelajari. Dari kitab yang robek itu, kata warga, muncul mata air dan kura-kura pertama di Desa Belawa.
Sejak saat itu, hewan lunak bertempurung tersebut tinggal di sekitar sumber air, berkembang biak, dan tak pernah pergi. Warga setempat menyebutnya kuya, sejenis bulus yang hidup di perairan air tawar.
Habitat kura-kura Belawa berada di sebuah kawasan bernama Cikuya. Lokasinya tidak begitu jauh dari kantor pemerintah desa.
Wisatawan yang ingin datang ke lokasi ini bisa melakukan perjalanan memakai sepeda motor atau kendaraan roda empat dengan jarak tempuh 22 km (sekitar 39 menit) dari pusat Kota Cirebon.
Bisa dibilang, Cikuya menjadi salah satu destinasi yang cukup tersohor di wilayah Cirebon bagian timur. Daya tariknya tentu karena keberadaan kura-kura unik yang mendiami kawasan tersebut.
Meski terkenal, Cikuya tidak viral. Bahkan tidak punya promosi atau paket wisata menarik. Kendati begitu, destinasi ini sangat cocok untuk dikunjungi bagi pelancong yang ingin sekadar menghabiskan waktu dan melepas penat dari rutinitas harian.
Di lokasi ini terdapat dua kolam yang tidak begitu luas. Bentuknya nyaris persegi, dikelilingi pagar besi bercat hitam. Bagian atas kolam dinaungi pohon besar yang tumbuh di sekelilingnya.
Suasana asri pun terasa saat pertama kali menginjakkan kaki ke sini. Di kolam utama, kura-kura dewasa berenang lamban. Sebagiannya lagi diam di bawah air untuk menghindari sinar matahari yang menembus sela dahan pepohonan.
Ukuran kura-kura di sini beragam, ada yang sebesar tutup ember, ada pula yang kecil seperti piring. Di sisi lainnya, kolam khusus anakan kura-kura atau tukik dipagari rapat, menjadi ruang tumbuh mereka hingga cukup kuat untuk menyatu dengan kolam utama.
Dalam bahasa latin, satwa ini dikenal sebagai Amyda cartilaginea, jenis kura-kura air tawar berkarapas lunak, atau yang dalam bahasa lokal kerap disebut bulus.
Satwa inilah yang menjadi ikon dari Cikuya, sekaligus simbol warisan hidup masyarakat Belawa. Selama bertahun-tahun, warga Desa Belawa meyakini kura-kura yang mereka lindungi merupakan satwa langka.
Kuya Belawa Dikeramatkan Warga
Arif, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Belawa, yang juga pengelola objek wisata Cikuya, menuturkan, kura-kura di tempatnya sudah dianggap keramat oleh warga sekitar. Hal ini, kata dia, tidak lepas dari mitos yang berkaitan erat dengan sosok Jaka Saliwa.
“Dulu cerita itu biasa diceritakan waktu malam. Namun sekarang kami jaga bukan cuma karena cerita, tetapi karena memang mereka (kura-kura) hidup di sini, sejak dulu,” katanya.
Keyakinan ini pun didasari oleh bentuk tubuh kura-kura Belawa yang unik yakni karapas punggungnya cekung, menyerupai lekukan tulang belakang manusia. Bagi warga, bentuk itu tidak umum dan diyakini tidak ditemukan di tempat lain.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Usaha Melestarikan Kuya Belawa
Spesies Amyda cartilaginea ternyata bukan tergolong langka, karena memiliki persebaran luas di Indonesia, termasuk di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Meski demikian, upaya pelestarian yang dilakukan masyarakat tetap dianggap penting karena mencerminkan kearifan lokal dan semangat menjaga alam secara turun-temurun.
Saat ini, di objek wisata Cikuya hidup sekitar 200 hingga 300 ekor kura-kura dewasa dengan usia beragam, mulai dari satu tahun hingga 30 tahun. Selain itu, tercatat sudah ada 2.242 tukik yang ditetaskan selama tahun 2024.
Menurut Eman, Ketua Pokdarwis Desa Belawa, seluruh kura-kura di Cikuya dipelihara secara khusus dan diberi pakan setiap hari.
“Saat ini kami memberi sekitar 7 kg daging ayam mentah per hari untuk kura-kura dewasa. Sesekali kami juga beri singkong mentah,” katanya.
Kebutuhan pakan tersebut belum termasuk untuk tukik-tukik yang terus bertambah jumlahnya. Proses penetasan telur pun dilakukan secara manual dan hati-hati, mengingat tingkat kematian tukik tergolong tinggi.
Ia menjelaskan, bulus ini dapat bertelur dua kali dalam setahun. Sebelum bertelur, indukan akan naik ke daratan dan memilih tempat yang aman.
Setiap kura-kura dewasa bisa menghasilkan 15 hingga 17 butir telur dalam satu periode. Untuk kura-kura muda yang baru pertama kali bertelur, jumlahnya berkisar 7 sampai 8 butir.
Telur-telur tersebut kemudian dipindahkan ke ruang penetasan dan akan menetas dalam waktu sekitar 100 hari. Setelah menetas, tukik-tukik dipindahkan ke kolam khusus yang terpisah dari kolam indukan.
“Untuk sampai usia lima bulan itu masa rawan. Banyak yang mati. Jadi ini bukan pekerjaan mudah,” ujarnya.
Namun, perjalanan melestarikan kura-kura ini tidak selalu mulus. Tahun 2010 menjadi titik kelam bagi Cikuya ketika ratusan kura-kura mati secara massal, menyisakan hanya 18 ekor. Kejadian ini menjadi alarm bagi warga, bahwa sesuatu harus dilakukan untuk menyelamatkan populasi yang tersisa.
“Saat itu situasi benar-benar memprihatinkan. Kami merasa kura-kura ini harus tetap ada,” katanya.
Dari 18 ekor yang tersisa, warga mulai menangkarkan telur kura-kura dengan metode sederhana, menggunakan media pasir lembap agar telur berkembang sempurna. Perlahan, populasi kura-kura Belawa kembali meningkat hingga sekarang.