Traveler Muda Ini Tersesat di Pulau Tak Berpenghuni, Ini 5 Kesalahan Fatalnya

Posted on

Tidak semua orang pulang membawa kenangan indah sepulang dari traveling. Pengalaman ini bisa menjadi gambaran bahwa persiapan perjalanan amat penting.

Tersesat bisa dialami siapa saja, baik anak-anak, remaja atau orang dewasa. CNN melaporkan seorang anak laki-laki di Zimbabwe diselamatkan dari taman nasional yang menjadi rumah bagi singa, Taman Nasional Matusadona. Bocah bernama Tinotenda Pudu (7) itu hilang selama lima hari, sejak 27 Desember 2025.

Juru bicara Zimbabwe Parks menyebut penyelamatan Pudu melibatkan penjaga taman, polisi, dan masyarakat setempat.

Kisah tersesat lain juga dialami oleh Jose Salvador Alvarenga pada awal 2014. Dia ditemukan di sebuah atoll di Kepulauan Marshall setelah perahu kecilnya terdampar 17 November 2012.

Jose melaut dari pantai barat Meksiko sejauh, tempat ia bekerja, dengan perahu kecil sepanjang 7 meter, bersama seorang anak muda bernama Ezequiel Cordoba. Hanya beberapa jam setelah berlayar, badai besar menghantam kapal mereka hingga mengakibatkan mesin rusak total, alat navigasi dan komunikasi hancur. Mereka terombang-ambing tanpa arah di Samudra Pasifik.

Ada pula kisah tiga orang yang tersesat di pedalaman Australia menyita perhatian dunia yang dilaporkan BBC pada 9 Desember 2019. Perjalanan mereka berubah menjadi mimpi buruk setelah mobil yang ditumpangi tersangkut di lumpur di tepian sungai.

Dalam kondisi putus asa, mereka memutuskan untuk berpisah dan berjalan sendiri-sendiri mencari bantuan. Dua orang berhasil ditemukan dalam keadaan selamat, sementara satu lainnya, Claire Hockridge, ditemukan telah meninggal dunia pada 4 Desember.

Pedalaman Australia memang bukan tempat sembarangan. Kawasan ini sangat luas, terpencil, dan beriklim ekstrem. Saat musim panas, suhu bisa melonjak hingga 40°C atau lebih yang berpotensi menyebabkan dehidrasi parah hanya dalam waktu satu hari.

Berkaca dari tiga pengalaman itu, berikut adalah 5 kesalahan fatal yang membuatnya bisa terdampar dan hampir tak kembali.

1. Minim Riset dan Persiapan Medan

Salah satu kesalahan paling umum adalah menganggap semua destinasi eksotis aman untuk dijelajahi. Traveler tidak menyadari bahwa pulau tersebut rawan ombak besar, tidak berpenghuni, dan tidak punya sumber air tawar alami.

Sama seperti Pudu, dari Zimbabwe, yang nyaris kehilangan nyawa setelah masuk ke taman margasatwa penuh singa dan gajah karena berjalan tanpa arah sejauh 23 km. Dia selamat dengan memakan buah-buahan liar.

Dia juga menggali sumur kecil di dasar sungai yang kering dengan tongkat untuk mendapatkan air minum, sebuah keterampilan yang diajarkan di daerah yang rawan kekeringan.

2. Tidak Memberitahu Siapa pun tentang Tujuan

Pudu berangkat sendirian tanpa memberi tahu keluarga, teman, apalagi otoritas setempat. Dalam dunia survival, ini seperti menggali lubang sendiri. Tak ada yang tahu ke mana mencarinya, dan waktu pencarian jadi semakin terlambat.

3. Bekal dan Peralatan Tidak Memadai

Dengan hanya membawa air seadanya dan camilan ringan, Pudu berharap bisa bertahan di alam liar. Tidak ada penjernih air, tidak ada alat komunikasi darurat, bahkan tidak membawa pisau lipat atau senter cadangan. Saat malam turun, dia hanya bisa menggigil dalam gelap.

Sebaliknya, Jose Salvador Alvarenga selamat setelah 13 bulan terombang-ambing di laut karena dia tahu bagaimana meminum darah kura-kura, makan ikan mentah, dan membaca tanda-tanda alam-meski banyak yang sempat meragukan ceritanya.

Kesalahan fatal saat tersesat ini bisa juga berhubungan dengan berpikir logis. Traveler yang tersesat dan kelaparan bakal mengambil apapun yang bisa dimakan. Padahal, belum bisa dipastikan makanan itu beracun atau bisa membuat sakit.

4. Meremehkan Alam dan Mengandalkan Feeling

Mengira semua bisa diatasi dengan improvisasi adalah kesalahan besar. Alam liar bukan tempat untuk uji coba pertama. Mereka yang selamat, seperti Pudu dan Jose, punya naluri bertahan hidup dan pemahaman dasar tentang alam-bukan hanya semangat petualangan.

Selain itu, kadang kala traveler yang sudah terlanjur panik justru tidak memberikan tanda sinyal darurat dan cenderung pasrah. Sinyal darurat itu bisa dibuat dengan batu, kayu, atau asap api unggun.

Pengalaman mengerikan itu dialami oleh tiga traveler yang tersesat di Australia karena tidak siap menghadapi cuaca ekstrem dan minimnya air di pedalaman. Di suhu 40°C lebih, manusia bisa mengalami dehidrasi parah dalam hitungan jam.

Selain itu, mereka tidak membawa alat komunikasi darurat. Ponsel biasa tidak berfungsi di pedalaman Australia karena tidak ada sinyal.

Seharusnya mereka membawa telepon satelit atau perangkat darurat seperti EPIRB (Emergency Position Indicating Radio Beacon). Alat itubisa mengirim sinyal lokasi ke pihak penyelamat, mempercepat proses pencarian dan penyelamatan.

5. Tidak Siap Mental Menghadapi Krisis

Panik, bingung, dan hilang arah adalah kombinasi mematikan di alam liar. Traveler ini mulai berhalusinasi karena dehidrasi parah dan nyaris menyerah saat tim penyelamat datang. Berbeda dengan bocah 8 tahun dari Zimbabwe yang menggali sumur di dasar sungai kering demi air minum-keterampilan yang ia pelajari sejak kecil di wilayah rawan kekeringan.